KOMPAS/ WINDORO ADI |
KOMPAS.com- Pesawat dari Kuala Lumpur, Malaysia, terlambat tiba di Shanghai, China, Jumat (10/9/2010) lalu. Ketika kaki menjejak Bandar Udara Internasional Pudong, puncak Idul Fitri yang ditandai Shalat Id baru saja usai. Meski demikian, deretan usaha kaki lima di Jalan Chang Du, Pudong, Shanghai, masih ramai oleh mereka yang baru selesai Shalat Id.
Tepat di seberang masjid, seorang ibu dan seorang perempuan masih sibuk melayani para pembeli makan besar dan makanan ringan. Semua makanan yang dijual di warung kakilima itu adalah makanan ala Turki yang umumnya kuat rasa bumbu jintan hitamnya. Ada nasi goreng kambing, sate kambing, lontong ati kambing, dan sajian mirip kwetiau su’un dengan rasa asam yang menyengat lidah. Makanan ringan yang dijual umumnya berbahan tepung yang digoreng.
Di sebelah warung, berdiri beberapa warung lain yang juga menjual sate kambing. Potongan daging satenya berukuran besar sehingga harus memakai dua tusuk bambu setiap sate. Tak jauh dari situ, berderet para penjual bermacam manisan buah, terutama manisan buah kurma. Para pedagang menjual dagangannya di atas sepeda roda tiga.
Lebih tenang
Perayaan Idul Fitri di Shanghai tidak seramai di Tanah Air. Maklum, populasi etnis Hue yang beragama Islam di Shanghai, kurang dari satu persen. Tetapi, suasana lebih tenang di Shanghai ternyata bukan cuma soal saat merayakan Idul Fitri. Keseharian kota itu juga demikian. Berbeda dengan yang dicitrakan selama ini yang menggambarkan, seolah kota Shanghai berdegup kencang dalam siklus persaingan usaha yang ketat, dengan tingkat kejahatan, penyakit sosial, dan kecelakaan di jalan raya yang tinggi.
Di kota ini, kecepatan kendaraan rata-rata di jalan raya cuma 40-50 kilometer per jam saja. Kendaraan berjalan dengan kecepatan seperti itu bukan karena lalu lintas macet, tetapi memang karena para pengemudinya santai membawa kendaraannya. Tingkat polusi di Shanghai relatif rendah karena sepeda motor yang tampak hilir mudik di jalan raya Shanghai, bertenaga listrik. Jumlah sepeda penumpang dan sepeda barang roda tiga pun masih banyak.
Di Shanghai, para pengendara sepeda masih bisa tenang membawa sepedanya, Sebab, para pengemudi kendaraan bermotor tidak tergesa menjalankan kendaraannya, sementara pemerintah masih memberi banyak ruang bagi para pengendara sepeda. Buktinya, tempat-tempat parkir sepeda mudah dijumpai di bagian jalur pejalan kaki yang dibuat lebar-lebar dengan pepohonan rindang diselingi taman-taman. Dimana-mana tampak pagar-pagar pembatas jalan di tepian dan di tengah yang bisa dilepas, tertata rapi.
Lalu lintas di Shanghai relatif lancar, sebab, pertambahan jumlah kendaraan seiring dengan jumlah pertambahan jalan. Pajak yang diperoleh dari kendaraan, oleh pemerintah dikembalikan ke para pengguna jalan dengan terus menambah jalan dan rambu. Jalan tol, jalan layang, terus bertambah. Tak ada keluhan “Deret hitung, deret ukur” di jalan raya.
Shanghai memang bukan Hong Kong meski keduanya menjadi kota komersial dan kota pelabuhan paling sibuk. Tidak seperti Hongkong yang nyaris tak pernah tidur, lampu-lampu yang mengguyur malam di Shanghai, dipadamkan pada pukul 23.00. Kawasan perdagangan di Jalan Nanjing sebelah timur tiba-tiba senyap saat lampu-lampu yang berjejal menyala di tepian jalan, dipadamkan. Tepian Sungai Huangpu yang membelah Shanghai di kawasan Bund pun senyap setelah lampu-lampu dipadamkan. Beberapa bangunan yang masih bermandi cahaya cuma restoran besar yang sudah sepi pengunjung.
Masa ke masa
Awalnya, di abad ke-11, seperti disebutkan dalam buku, “Guide to Shanghai, Institute of National Economy, Shanghai Academy of Social Sciences”, (Shanghai Lexicographical, tanpa tahun), Shanghai cuma desa kecil nan terpencil kaum nelayan. Tetapi, karena letaknya yang strategis, Shanghai tumbuh sebagai kota pelabuhan. Di era Dinasti Yuan, Mongol (1279-1368), Shanghai telah menjadi kota komersial dan pelabuhan dagang paling sibuk.
Pada abad ke-17, Pelabuhan Shanghai kian ramai. Seabad kemudian, yaitu di era Dinasti Ming, Shanghai berkembang menjadi kota industri kain katun yang menarik perhatian para pedagang kain di seluruh dunia.
Shanghai terdiri dari dua suku kata, yaitu shang yang artinya di atas, dan hai yang artinya laut. Terjemahan bebasnya kemudian menjadi, kota menuju laut. Sebelum menjadi kota, Shanghai adalah bagian dari Distrik Songjiang di Provinsi Suzho.
Tahun 1553, mulai dibangun tembok kota Shanghai. Tembok ini dibuat untuk menahan serangan Jepang di Era Dinasti Ming (1368-1644). Kota yang terletak di mulut Sungai Yangtze ini saat perang opium pertama di awal abad 19, didiami pasukan Inggris. Setelah perang candu berakhir dengan Perjanjian Nanjing tahun1842, pelabuhan Shanghai dibuka untuk perdagangan internasional modern.
Shanghai menjadi kota industri setelah Jepang menguasai Shanghai, yaitu pada Perang China-Jepang tahun 1894-1895. Tahun 1927, Shanghai menjadi daerah ibukota khusus, dan pada bulan Mei 1930 seperti ditulis dalam buku “Shanghai Basics” (China Intercontinental Press, tanpa tahun), Shanghai menjadi kotamadya pemerintahan pusat di samping Beijing, Chongqing, dan Tianjin.
Shanghai terdiri dari dua wilayah yang dibelah Sungai Huangpu, yaitu wilayah Puxi dan kota lama Nanshi di barat sungai, serta Pudong, di timur Puxi. Kini, Shanghai yang memiliki luas 2.440 kilometer persegi ini, berpenduduk tetap 14 juta orang dengan jumlah penduduk total termasuk kaum migran sementara, 20 juta orang. (WINDORO ADI)
http://travel.kompas.com/read/2010/09/13/16463281/
Tepat di seberang masjid, seorang ibu dan seorang perempuan masih sibuk melayani para pembeli makan besar dan makanan ringan. Semua makanan yang dijual di warung kakilima itu adalah makanan ala Turki yang umumnya kuat rasa bumbu jintan hitamnya. Ada nasi goreng kambing, sate kambing, lontong ati kambing, dan sajian mirip kwetiau su’un dengan rasa asam yang menyengat lidah. Makanan ringan yang dijual umumnya berbahan tepung yang digoreng.
Di sebelah warung, berdiri beberapa warung lain yang juga menjual sate kambing. Potongan daging satenya berukuran besar sehingga harus memakai dua tusuk bambu setiap sate. Tak jauh dari situ, berderet para penjual bermacam manisan buah, terutama manisan buah kurma. Para pedagang menjual dagangannya di atas sepeda roda tiga.
Lebih tenang
Perayaan Idul Fitri di Shanghai tidak seramai di Tanah Air. Maklum, populasi etnis Hue yang beragama Islam di Shanghai, kurang dari satu persen. Tetapi, suasana lebih tenang di Shanghai ternyata bukan cuma soal saat merayakan Idul Fitri. Keseharian kota itu juga demikian. Berbeda dengan yang dicitrakan selama ini yang menggambarkan, seolah kota Shanghai berdegup kencang dalam siklus persaingan usaha yang ketat, dengan tingkat kejahatan, penyakit sosial, dan kecelakaan di jalan raya yang tinggi.
Di kota ini, kecepatan kendaraan rata-rata di jalan raya cuma 40-50 kilometer per jam saja. Kendaraan berjalan dengan kecepatan seperti itu bukan karena lalu lintas macet, tetapi memang karena para pengemudinya santai membawa kendaraannya. Tingkat polusi di Shanghai relatif rendah karena sepeda motor yang tampak hilir mudik di jalan raya Shanghai, bertenaga listrik. Jumlah sepeda penumpang dan sepeda barang roda tiga pun masih banyak.
Di Shanghai, para pengendara sepeda masih bisa tenang membawa sepedanya, Sebab, para pengemudi kendaraan bermotor tidak tergesa menjalankan kendaraannya, sementara pemerintah masih memberi banyak ruang bagi para pengendara sepeda. Buktinya, tempat-tempat parkir sepeda mudah dijumpai di bagian jalur pejalan kaki yang dibuat lebar-lebar dengan pepohonan rindang diselingi taman-taman. Dimana-mana tampak pagar-pagar pembatas jalan di tepian dan di tengah yang bisa dilepas, tertata rapi.
Lalu lintas di Shanghai relatif lancar, sebab, pertambahan jumlah kendaraan seiring dengan jumlah pertambahan jalan. Pajak yang diperoleh dari kendaraan, oleh pemerintah dikembalikan ke para pengguna jalan dengan terus menambah jalan dan rambu. Jalan tol, jalan layang, terus bertambah. Tak ada keluhan “Deret hitung, deret ukur” di jalan raya.
Shanghai memang bukan Hong Kong meski keduanya menjadi kota komersial dan kota pelabuhan paling sibuk. Tidak seperti Hongkong yang nyaris tak pernah tidur, lampu-lampu yang mengguyur malam di Shanghai, dipadamkan pada pukul 23.00. Kawasan perdagangan di Jalan Nanjing sebelah timur tiba-tiba senyap saat lampu-lampu yang berjejal menyala di tepian jalan, dipadamkan. Tepian Sungai Huangpu yang membelah Shanghai di kawasan Bund pun senyap setelah lampu-lampu dipadamkan. Beberapa bangunan yang masih bermandi cahaya cuma restoran besar yang sudah sepi pengunjung.
Masa ke masa
Awalnya, di abad ke-11, seperti disebutkan dalam buku, “Guide to Shanghai, Institute of National Economy, Shanghai Academy of Social Sciences”, (Shanghai Lexicographical, tanpa tahun), Shanghai cuma desa kecil nan terpencil kaum nelayan. Tetapi, karena letaknya yang strategis, Shanghai tumbuh sebagai kota pelabuhan. Di era Dinasti Yuan, Mongol (1279-1368), Shanghai telah menjadi kota komersial dan pelabuhan dagang paling sibuk.
Pada abad ke-17, Pelabuhan Shanghai kian ramai. Seabad kemudian, yaitu di era Dinasti Ming, Shanghai berkembang menjadi kota industri kain katun yang menarik perhatian para pedagang kain di seluruh dunia.
Shanghai terdiri dari dua suku kata, yaitu shang yang artinya di atas, dan hai yang artinya laut. Terjemahan bebasnya kemudian menjadi, kota menuju laut. Sebelum menjadi kota, Shanghai adalah bagian dari Distrik Songjiang di Provinsi Suzho.
Tahun 1553, mulai dibangun tembok kota Shanghai. Tembok ini dibuat untuk menahan serangan Jepang di Era Dinasti Ming (1368-1644). Kota yang terletak di mulut Sungai Yangtze ini saat perang opium pertama di awal abad 19, didiami pasukan Inggris. Setelah perang candu berakhir dengan Perjanjian Nanjing tahun1842, pelabuhan Shanghai dibuka untuk perdagangan internasional modern.
Shanghai menjadi kota industri setelah Jepang menguasai Shanghai, yaitu pada Perang China-Jepang tahun 1894-1895. Tahun 1927, Shanghai menjadi daerah ibukota khusus, dan pada bulan Mei 1930 seperti ditulis dalam buku “Shanghai Basics” (China Intercontinental Press, tanpa tahun), Shanghai menjadi kotamadya pemerintahan pusat di samping Beijing, Chongqing, dan Tianjin.
Shanghai terdiri dari dua wilayah yang dibelah Sungai Huangpu, yaitu wilayah Puxi dan kota lama Nanshi di barat sungai, serta Pudong, di timur Puxi. Kini, Shanghai yang memiliki luas 2.440 kilometer persegi ini, berpenduduk tetap 14 juta orang dengan jumlah penduduk total termasuk kaum migran sementara, 20 juta orang. (WINDORO ADI)
http://travel.kompas.com/read/2010/09/13/16463281/