9 Nov 2008

Menghormati Telapak Kaki Sang Buddha

KOTA JAMBI – Seperti pepatah mengatakan sekali dayung dua tiga pulau dilalui, demikian juga dengan Vihara Sakyakirti Jambi dalam tempo dua belas jam (12) telah melakukan tiga(3) rangkaian kegiatan, diantaranya, pagi pukul 06.30 sampai 09.00 WIB Pindapatta, terus pukul 09.30 WIB, Pujabakti Hari Kathina anak-anak dilanjuti pujabakti umum hingga selesai, setelah itu pukul 18.00 WIB, Siripada Puja yang diikuti lebih kurang enam ratus (600) umat Buddha melepaskan bunga teratai yang terbuat dari kertas karton ke Sungai Batanghari Jambi.

Siripada Puja adalah upacara penghormatan kepada tapak kaki suci Sang Buddha. Siripada atau tapak kaki Sang Buddha merupakan salah satu mata acara perayaan Hari Besar Sang Buddha, pelaksanaan kali ini ditempatkan di tepi Sungai Batanghari Jambi (pelabuhan pasir). Acara dimulai sekitar pukul 18.30 WIB dengan diawali barisan Amisha Puja membawa pelita penerangan, dilanjuti pembacaan Parita oleh Bhikkhu Bhikkhu Nyanajaya Bhumi dan selanjut tiga orang Bhikkhu dengan mengunakan mengunakan ketek (perahu yang mengunakan mesin red) melarungan atau menghanyutan teratai kertas bewarna-warni yang membawa simbol tapak kaki suci Sang Buddha ditengah-tengah sungai batanghari.
Kemudian diiringi para Bhikkhu Sangha yang berada disisi sungai juga memulai penghormatan dengan menghanyutkan teratai kertas yang berisi bunga, lilin, dan dupa dan diikuti oleh umat Buddha. Saat itu, disaksikan ratusan masyarakat yang berada disekitar lokasi pelabuhan pasir.

Sekilas, jumlah umat Buddha yang ikut dalam acara itu bagaikan barisan pembawa obor. Meskipun demikian, semuanya terlihat sangat antusias dalam mengikuti upacara tersebut. Mulai dari anak kecil sampai orang yang sudah tua. Suatu keadaan yang membahagiakan. Apalagi jika mengingat upacara seperti itu baru pertama kali diadakan oleh Vihara Sakyakirti Jambi.

Mengenai pelaksanaannya kali ini, menurut Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jambi, Romo Bala Mitta, “ini merupaka kali pertama dilaksanakan oleh Vihara Sakyakirti, tentu terdapat beberapa kekurangan yang akan kita perbaiki dimasa mendatang, namun acara cukup baik dan lancar. Untuk tahun depan, akan lebih baik jika jalur hanyutnya teratai kertas itu diperpanjang. Biar sesuai dengan isi suttanya. Memberi penghormatan dari jauh..."

Siripada Puja atau Penghormatan pada Telapak Kaki Sang Buddha adalah salah satu ritual yang berasal dari India. Pada waktu itu setelah Sang Bhagava membabarkan Dhamma-Nya dan menginap selama beberapa hari, penduduk desa memohon agar Sang Bhagava meninggalkan kenang-kenangan yang dapat dijadikan obyek penghormatan kepada Beliau. Sang Bhagava menyetujui hal itu dan kemudian Beliau berdiri di atas batu pada sebuah sungai yang sedang surut. Telapak kaki Sang Bhagava dengan roda Dhamma di tengahnya membekas pada batu itu dan setiap kali air surut, telapak kaki Sang Bhagava dapat terlihat dengan jelas.Setelah Sang Bhagava meninggalkan desa itu, penduduk desa tersebut selalu memberikan penghormatan kepada bekas telapak kaki Sang Bhagava. "Upacara siripada puja dilaksanakan untuk menghormati Sang Buddha yang telah membabarkan dharma. sang Buddha meninggalkan telapak kaki di tepi Sungai Namatha tanda bahwa umat Buddha harus melaksanakan dan mengikuti jejak sang Buddha, membabarkan Buddha Dharma dan melakukan dalam kehidupan sehari-hari,". (Romy - Perwakilan Majalah DI Wilayah Jambi & berbagai narasumber).

Penghormatan Telapak Kaki Sang Buddha

Pindapatta

Kata-kata "Pindapatta" berasal dari bahasa Pali, yang berarti : Menerima persembahan makanan, sedangkan yang disebut "Patta" atau "Patra" adalah mangkok makanan yang digunakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni.

Konon dulunya patta ini terbuat dari sejenis buah labu yang disayat bagian atasnya, lalu dikerok bagian tengah/ isinya, kemudian bagian kulitnya dikeringkan sehingga berbentuk sebuah mangkok yang cukup besar; mangkok inilah yang digunakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni untuk menerima dana/ sumbangan makanan dari umat. Tetapi karena patta jenis ini rapuh dan mudah rusak (pecah), sehingga kemudian patta dibuat dari logam seperti dari tembaga, kuningan, aluminium, dan lain-lain, dengan berbagai macam ukuran.

Pindapatta merupakan tradisi Buddhis yang telah dilaksanakan sejak zaman kehidupan Sang Buddha Gotama/ Sakyamuni Buddha (bahkan sejak jaman para Buddha terdahulu) sampai saat ini, dan akan terus berlanjut hingga jaman Buddha-Buddha yang akan datang.

Tradisi Pindapatta ini masih tetap dilaksanakan di beberapa negara, seperti Thailand, Myanmar dan Srilanka; sedangkan di negara-negara lain termasuk Indonesia, tradisi ini sudah jarang dilaksanakan disebabkan banyak faktor yang tidak mendukung pelaksanaan kebiasaan ini, seperti jumlah Bhikkhu yang tidak banyak, juga jumlah umat Buddha yang sedikit, dan banyak pula diantaranya yang tidak mengerti dan tidak mengenal tatacara tradisi Pindapatta ini.

Sehingga untuk memperkenalkan dan membiasakan umat pada tradisi Pindapatta ini, beberapa Vihara di Indonesia mengambil inisiatif untuk mengkoordinir penyelenggaraan upacara Pindapatta secara berkala yang biasanya berlangsung di halaman Vihara atau jalan-jalan disekitar Vihara saja.

Pindapatta dilaksanakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni dengan cara berjalan kaki dengan kepala tertunduk sambil membawa Patta/ Patra (mangkok makanan) untuk menerima/ memperoleh dana makanan dari umat guna menunjang kehidupannya.

Dahulukala para Bhikkhu/ Bhikkhuni keluar dari Vihara dan berjalan di daerah pemukiman (kampung/desa) pada waktu-waktu tertentu (sebelum tengah hari), dan umat yang ingin berdana telah menyiapkan dananya yang akan diberikan kepada Sangha. Kemudian dana berupa makanan itu (berupa nasi, lauk pauk, kue-kue, buah-buahan, dan lain-lain) dimasukkan kedalam patta para Bhikkhu/ Bhikkhuni; makanan yang campur aduk itulah yang akan dimakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni setelah mereka kembali ke Vihara, tanpa merasa jijik atau tidak suka pada makanan yang diberikan; karena bagi seorang Bhikkhu/Bhikkhuni makanan hanyalah untuk kelangsungan hidup, bukan untuk kenikmatan.

Tetapi perlu dimengerti oleh umat, bahwa pemberian dana makanan kepada para Bhikkhu/Bhikkhuni ini tidak sama dengan pemberian sedekah kepada seorang pengemis, sebab sesuai dengan Vinaya (aturan hidup para Bhikkhu/ Bhikkhuni yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka) dalam pindapatta ini seorang Bhikkhu/ Bhikkhuni tidak boleh mengucapkan kata-kata meminta, tetapi umatlah yang secara sadar dan ikhlas, serta semangat bhakti memberikan/ mendanakan makanan demi membantu kelangsungan kehidupan suci para anggota Sangha tersebut.

Bagi para Bhikkhu/ Bhikkhuni sendiri, pindapatta ini merupakan cara untuk melatih diri hidup sederhana/ prihatin, belajar menghargai pemberian orang lain, dan melatih "Sati" (perhatian/ kesadaran murni), serta merenungkan bahwa fungsi utama makanan adalah untuk memenuhi kebutuhan badan jasmani, bukan untuk kesenangan dan mencari kenikmatan.
Sedangkan bagi umat Buddha, pindapatta ini merupakan ladang yang subur untuk menanam jasa kebajikan. Bilamana kita berdana (memberikan sesuatu bantuan/ sumbangan) kepada mereka yang menjalani kehidupan suci, maka kita akan memperoleh banyak berkah, antara lain :

*Kita akan disenangi banyak orang (disenangi dalam pergaulan).
*Bila saatnya tiba kita akan meninggal dunia dengan penuh ketenangan, karena pikiran kita akan senantiasa teringat pada perbuatan baik yang sering kita lakukan (berdana kepada Sangha).
*Setelah kematian kita akan bertumimbal lahir di alam yang lebih bahagia.
*Kita akan memperoleh usia yang panjang, kecantikan/ kegagahan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Pada hari Minggu tanggal 9 Nopember 2008, Pukul 06.30 WIB; dalam rangka memperingati Hari Kathina 2552 BE/2008, Vihara Sakyakirti Jambi yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoto Jambi, Kelurahan Sulanjana, Kecamatan Jambi Timur, merupakan Vihara tertua di "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah", kembali mengelar Pindapatta dengan berjalan kaki menelusuri jalan yang belum tersentuh oleh aspal seperti di Lorong Koni IV dan Lorong Budiman. Pindapatta dipimpin oleh Bhikkhu Vajra Giri, Bhikkhu Nyanajaya Bhumi, Bhikkhu Nyana Cando, Bhikkhu Giri Viriya, Bhikkhu Sian Cuan, Bhikkhuni Giri Kshanty, Bhikkhuni Giri Citta, Samanera Sadha Putra dan Samanera Sadha Viriya.

Bagaimana cara kita memberi dana pada upacara Pindapatta ini ?
1. Persiapkanlah dana anda dengan sebaik-baiknya dan perasaan tulus dan ikhlas
2. Dana yang diberikan berupa makanan, seperti : nasi, lauk-pauk, kue-kue (vegetaris/ ciak cai), buah-buahan, atau jenis makanan lainnya. Untuk kepraktisan bisa juga diberikan dalam bentuk dana uang (angpao), tetapi pada waktu memberikan anda harus membayangkan bahwa yang diberikan adalah makanan (dengan uang itu bisa dibeli makanan). Bahkan kalau ada umat yang tidak mampu berdana, memberikan sekantong air minum pun sudah dianggap dana yang baik.
3. Berdirilah dalam barisan yang rapi sesuai dengan petunjuk petugas/ panitia, jangan berebut tempat, berdesak-desakan, dan menimbulkan suara gaduh (ribut), selama pindapatta berlangsung suasana harus tenang dan hikmat.
4. Bila Bhikkhu/Bhikkhuni yang menerima dana berjalan tanpa alas kaki, maka umat yang berdana pun harus melepaskan alas kakinya.
5. Dana diberikan dengan sopan dan penuh hormat, dengan jalan memasukkan dana tersebut langsung kedalam patta/ patra yang dipegang oleh sang Bhikkhu/ Bhikkhuni.
6. Setelah dana diberikan, umat bersikap anjali (kedua telapak tangan dirangkapkan di depan dada) dengan penuh hormat dan perasaan bahagia.
7. Tetaplah berdiri pada tempat anda sampai pindapatta selesai.
(Romy - Perwakilan Majalah DI Wilayah Jambi & berbagai narasumber)

Tradisi Pindapatta

Amrta Bagi-Bagi Sembako


KOTA JAMBI - Sebagai wujud rasa keperduli sesama umat manusia, Minggu kemarin (9/11) Vihara Amrta Jambi yang beralamat di Jalan Untung Surupati, Kelurahan Jelutung, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, mengelar bakti sosial dengan membagi-bagikan 600 paket sembako kepada masyarakat/ Kepala Keluarga (KK) di sebelas Rukun Tetangga (RT), sembako yang dibagikan kepada masyarakat tersebut terdiri dari beras 2.5 kilogram dan mie instran sebanyak 8 bungkus.

Pembagian sembako tersebut langsung dipimpin oleh Sramanera Sakya Sugata di halaman Vihara Amrta Jambi. Adapun bakti sosial tersebut selain membantu masyarakat yang kurang beruntung (mampu) juga sekaligus memperingati Hari Kathina 2552 BE/2008.

Ujar Sramanera Sakya Sugata, bahwa sembako yang dibagi janganlah dilihat darijumlah banyak dikitnya yang dibagi, melainkan kita bagi-bagikan secara merata, hingga semua warga yang kurang beruntung bisa kebagian, sembako tersebut merupakan sumbangan dari umat Buddha yang dihimpun oleh Yayasan Amrta Jambi beberapa waktu yang lalu
(Romy - Perwakilan Majalah DI Wilayah Jambi)

Bagi Sembako Kepada Warga Kurang Mampu



Siswa-siswi Sariputera Rayakan Hari Kathina 2552BE

KOTA JAMBI – Walaupun hujan turun rintik-rintik membasahi bumi Kota Jambi yang dijuluki sebagai ” Tanah Pilih Pesako Betuah ”, namun tidak menyulutkan niat ratusan Pelajar Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) Sariputera Jambi untuk merayakan Hari Besar Agama Buddha, yaitu memperingati Hari Kathina 2552 BE/2008, sejak pukul 07.00 pagi dengan antusias anak-anak Sekolah Sariputera Jambi terdiri dari anak laki-laki dan perempuan telah membanjiri Aula SD Sariputera Jambi dibilangan Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Sulanjana, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi untuk mengikuti upacara Perayaan Hari Kathina yang dipimpin oleh Bhikkhu Nyanajaya Bhumi.

Prosesi Perayaan Hari Kathina diawali dengan barisan Amisha Puja yang dibawakan oleh pelajar sekolah dasar sariputera, adapun Amisha Puja terdiri dari Lilin, Air, Buah-Buahan, Dupa/Gaharu dan Bunga. Menurut Balla Mitta, Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jambi, bahwa makna dari LILIN symbol Penerangan, AIR symbol Kesucian/ Kerendahan hati, BUAH-BUAHAN symbol Karma/ Hasil perbuatan, DUPA/ GAHARU symbol Keharuman dan BUNGA symbol Ketidak Kekalan.

Setelah itu Bhikkhu Nyana Bhumi Pembabarkan Dhammadesana (ceramah red), seusai itu paduan suara dari siswa –siswi Sekolah Sariputera Jambi, terus penyerahan dana Kathina kepada Bhikkhu Sangha dan yang terakhir pemercikan air suci kepada anak-anak.

Suasana kegembiraan mewarnai siswa – siswi Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) Sariputera Jambi, hal tersebut dapat dilihat dimana himbauan Pengurus Generasi muda Buddhis Sakyakirti Jambi (GBSJ) anak-anak tersebut antri, namun tampaknya himbauan tersebut tidak dihiraukan, karena mereka tidak sabar ingin cepat-cepat mempersembahkan dana kepada Bhikkhu Sangha, ujar salah seorang anak SD Sariputera yang ditangannya memegang amplop berisi uang untuk dipersembahkan kepada Bhante, “ini uang jajan saya yang dikumpulkan selama satu minggu”.

Rasa haru dan bangga melihat ratusan siswa-siswi memberikan dana berupa uang yang telah diamplopkan, ada juga yang dipersembahkan berupa bingkisan, bahkan ada beberapa pelajar yang tidak lagi sempat lagi masukan uang kedalam amplop/angpau dan mereka berikan dengan hormat, tulus dan bahagia (Romy - Perwakilan Majalah DI Wilayah Jambi).

Selayang Pandang Prosesi Perayaan Kathina


5 Nov 2008

Ratusan Umat Buddha Jambi Melepaskan Satwa Ke Alam Bebas

MUARO JAMBI – Rabu (05/11) bertepatan dengan Perayaan Hari Kathina 2552BE/2008, ratusan umat Buddha Kota Jambi dan sekitarnya, Vihara Sakyakirti Jambi yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Sulanjana, Kecamatan Jambi Timur, kembali mengadakan acara Fang Shen atau pelepasan ribuan satwa ke habitat aslinya (alam bebas), diantara satwa (binatang) yang dilepaskan adalah ratusan ekor kura-kura, ratusan ikan lele dan belut serta ratusan ekor burung.

Sebelum menuju kelokasi Fang Shen pelepasan satwa (binatang) ke alam bebas di Sungai Batanghari Jambi, terlebih dahulu dilakukan upacara kebaktian bersama dihalaman Vihara Sakyakirti Jambi, prosesi kebaktian dipimpin langsung oleh Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi beserta ratusan umat Buddha, setelah makan siang rombongan baru menuju kelokasi Fang Shen yaitu galangan kapal PT. Naga Cipta Central, Jalan Pelabuhan Talang Duku, di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Setiba disisi sungai Batanghari, Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi kembali melakukan pembacaan doa-doa agar satwa (binatang) yang dilepaskan kealam aslinya,
selanjutnya kura-kura yang telah dibacakan doa dilepaskan oleh Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi dan juga penaburan bunga-bunga ke sungai Batanghari, setelah itu disusul umat yang hadir melepaskan satwa sambil tak henti-hentinya membacakan doa.

Setelah selesai pelepasan satwa, Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi, kepada sejumlah wartawan, mengatakan “ bahwa setiap mahluk hidup berkeinginan hidup yang bahagia, seperti keinginan kita (baca insan red) yang ingin hidup dalam kebahagian, sedangkan dengan melepaskan satwa ke habitan aslinya secara tidak langsung kita telah menyelamatkan satwa dari kepunahan “.

Tujuan Fang Shen, sesungguhnya adalah agar sebagai insan manusia tidak melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup (sila pertama), dan tidak melakukan perbuatan jahat dengan merenggut kehidupan makhluk lain. Bahkan, setelah melepaskan diri dari melakukan kejahatan pembunuhan makhluk hidup, lebih jauh lagi adalah dengan memperbanyak berbuat kebajikan, yakni membebaskan makhluk-makhluk hidup yang menderita, kapan saja dan di mana saja hal tersebut dapat dilakukan.

Fang Shen adalah pembuatan yang sangat dimuliakan oleh Sang Pencipta Alam Semesta, yakni berharap agar semua makhluk hidup diatas bumi dapat berbahagia dan terlepas dari penderitaan, ini menunjukkan bahwa kita telah mulai memasuki tahap penyucian hati dan pikiran, sehingga niat-niat jahatpun tidak akan mendapat tempat dalam batin kita.

Pembunuhan, apapun bentuknya, adalah perbuatan yang tidak baik untuk dilakukan karena pembunuhan berarti mengakhiri kehidupan makhluk lain. Jika kita sebagai manusia memiliki hasrat untuk hidup, serta tidak ingin kehidupan kita diambil, demikian juga yang dirasakan dan diinginkan oleh makhluk lain. Hal ini tidak dapat dipungkiri, tapi mungkin kita berusaha mengingkarinya dengan mengutamakan kepentingan diri kita di atas kepentingan makhluk lain.

Selain itu, Buddha juga mengajarkan lima aturan moral (sila) yang dikenal dengan Panca Sila Buddhis. Kelima sila tersebut adalah bahwa seorang umat Buddha bertekad melatih diri menghindarkan diri dari (1) Membunuh makhluk hidup, (2) Perbuatan pencurian, (3) Perbuatan asusila, (4) Ucapan yang tidak benar, (5) Minuman yang menyebabkan kesadaran berkurang (mabuk).

Fang Sheng adalah perluasan dari sila untuk tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup serta menjadi sebuah solusi untuk mengembalikan ekosistem sehingga kepunahan spesies-spesies karena ulah manusia dapat dihindarkan (Romy - Perwakilan Majalah DI Wilayah Jambi).

Fang Shen Menyelamatkan Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

GAMBAR ATAS : Prosesis kebaktian sebelum Fang Shen
GAMBAR BAWAH : Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi melepaskan
burung ke alam bebas.
GAMBAR ATAS : Ratusan umat mengikuti prosesi Fang Shen
disungai Batanghari Jambi dan kura-kura yang menanti kebebasan
GAMBAR BAWAH : Prosesi Fang Shen di Pimpin oleh Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi
Fang Shen diawali oleh Bhikkhu Nyana Jaya Bhumi
dan diikuti umat Buddha lainnya
Satwa yang dilepaskan kembali ke habitan aslinya
( alam bebas )