JAMBI - Setiap orang tentu tidak menghendaki hidup dibawah garis kemiskinan, namun kehidupan seseorang di atas dunia telah ditentukan oleh Sang Pencipta Alam Semesta, sebagai manusia hanya sebagai pelakon tanpa kuasa untuk menolaknya.
Seperti yang dialami Muitandi (69) warga Rt 34 Kelurahan Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi yang hidup bersama istri jauh dari keramaian kota.
Bila kita bertanya pada Muitandi dirinya tentu tidak ingin jadi orang yang miskin hidup dan tinggal disebuah gubuk yang dikeliling dengan semak-semak belukar. walaupun dalam kondisi Muitandi cukup memperhatinkannamun beliau menerima dengan tabah.
Saat timweb yang bertandang kerumahnya bersama Generasi muda Buddhis Sakyakirti Jambi (GBSJ) Minggu kemarin (19/1), kehadiran GBSJ adalah untuk menyerahkan bantuan paket imlek agar untuk Muitandi bisa merayakan layaknya seperti warga Tionghoa lainnya, kehadiran rombong diterima dengan oleh Muitandi sambil memberikan sejuman, “silahkan duduk didalam, ya beginilah kondisi kami”.
Waktu menyerahkan bingkisan imlek oleh Suryanto, istri Muitandi hanya menerima 1 karung beras ukuran 25 kilogram dan 1 dus mie instan, sedangkan paket lain sempat ditolaknya. Karena tidak terpikir untuk merayakan tahun baru Imlek.
Ujar Muitandi mana ada yang mau bertandang ketempatnya kami yang jauh dari jalan raya, rasa haru terpancar dari wajahnya yang kusut, selanjutnya kata Muitandi, mana ada pemikiran untuk merayakan tahun baru imlek, " untuk dapat makan sehari-hari sudah saya syukuri”.
Muitandi tinggal disitu sejak tahun 1987 atau 22 tahun yang lalu bersama istri keuanya, sedangkan istri pertamanya telah lama pisah dan anak-anak ada samanya. Untuk dapat mencapai pondok Muitandi, dari jalan raya harus berjalan kira-kira lima kilometer baru tiba di Pondok Pesantren (Ponpes) Albaroka dari Ponpes kita berjalan disemak-semak lebih kurang 100 meter, baru tiba dirumah Muitandi (Rom).
Seperti yang dialami Muitandi (69) warga Rt 34 Kelurahan Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi yang hidup bersama istri jauh dari keramaian kota.
Bila kita bertanya pada Muitandi dirinya tentu tidak ingin jadi orang yang miskin hidup dan tinggal disebuah gubuk yang dikeliling dengan semak-semak belukar. walaupun dalam kondisi Muitandi cukup memperhatinkannamun beliau menerima dengan tabah.
Saat timweb yang bertandang kerumahnya bersama Generasi muda Buddhis Sakyakirti Jambi (GBSJ) Minggu kemarin (19/1), kehadiran GBSJ adalah untuk menyerahkan bantuan paket imlek agar untuk Muitandi bisa merayakan layaknya seperti warga Tionghoa lainnya, kehadiran rombong diterima dengan oleh Muitandi sambil memberikan sejuman, “silahkan duduk didalam, ya beginilah kondisi kami”.
Waktu menyerahkan bingkisan imlek oleh Suryanto, istri Muitandi hanya menerima 1 karung beras ukuran 25 kilogram dan 1 dus mie instan, sedangkan paket lain sempat ditolaknya. Karena tidak terpikir untuk merayakan tahun baru Imlek.
Ujar Muitandi mana ada yang mau bertandang ketempatnya kami yang jauh dari jalan raya, rasa haru terpancar dari wajahnya yang kusut, selanjutnya kata Muitandi, mana ada pemikiran untuk merayakan tahun baru imlek, " untuk dapat makan sehari-hari sudah saya syukuri”.
Muitandi tinggal disitu sejak tahun 1987 atau 22 tahun yang lalu bersama istri keuanya, sedangkan istri pertamanya telah lama pisah dan anak-anak ada samanya. Untuk dapat mencapai pondok Muitandi, dari jalan raya harus berjalan kira-kira lima kilometer baru tiba di Pondok Pesantren (Ponpes) Albaroka dari Ponpes kita berjalan disemak-semak lebih kurang 100 meter, baru tiba dirumah Muitandi (Rom).