KOMPAS.com - Apa kabar kasus Bank Century? Skandal yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 6,7 triliun dan menyeret pejabat tinggi negara itu kini lamat-lamat mulai redup, lenyap, tak membekas.
Sinyal lenyapnya kasus Bank Century didapatkan tatkala para penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan kepolisian menggelar rapat dengan tim pengawas kasus Bank Century bentukan DPR.
KPK, misalnya, setelah memeriksa 31 orang dari Bank Indonesia, 39 orang dari Bank Century, 11 orang dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), 2 orang dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan, 1 orang dari Bapepam, dan 12 orang lainnya, menyatakan untuk sementara tak ditemukan indikasi korupsi di kasus Bank Century (Kompas, 9/6/2010).
Lima pelanggaran
Agak mengherankan jika menilai tak ada indikasi korupsi di kasus Bank Century sebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pemegang kuasa memeriksa keuangan negara menemukan ada dugaan pelanggaran hukum. BPK pun mengundang KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian (14/12/2009) pada presentasi temuannya.
BPK mencatat lima pelanggaran hukum di kasus Bank Century. Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BPMK) melalui pemberian surat-surat berharga (SSB) yang bernilai rendah. Aturan hukum yang berpotensi ditubruk adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kedua, pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus Bank Century, dan pihak terkait melalui pemberian kredit, seperti letter of credit fiktif.
Ketiga, kebijakan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/ 2008 tanggal 30 Oktober 2008 yang menentukan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang harus dimiliki oleh Bank calon penerima FPJP adalah 8 persen. Padahal, CAR Bank Century minus. Diduga, ada rekayasa untuk membuat CAR Bank Century menjadi positif dan di atas 8 persen.
Keempat, potensi pelanggaran terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Kelima, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 dinilai oleh BPK tidak mempunyai landasan hukum.
Dokumen lima temuan pelanggaran BPK tersebut sudah berada di tangan lembaga penegak hukum karena BPK mengundang mereka untuk melihat dan mendengarkan paparannya secara langsung, tahun lalu. Apakah penegak hukum tak menelaah dengan sungguh-sungguh lima pelanggaran tersebut?
Selain itu, pelanggaran FPJP dan penyertaan modal sementara (PMS) Bank Century juga sudah diperiksa secara politik. Melalui hak angket, Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century memanggil pihak-pihak terkait kasus Bank Century. Hasilnya, pada sidang paripurna (3/3), 325 anggota DPR dengan menepis 212 anggota yakin bahwa kebijakan menyelamatkan Bank Century adalah salah, melanggar aturan hukum.
Pemeriksaan keuangan BPK serta pemeriksaan politik DPR berpendapat sama, ada pelanggaran dalam kasus Bank Century. Lalu, kenapa pemeriksaan hukum menyatakan berbeda (meskipun sementara) bahwa tak ada pelanggaran atau tak ditemukan indikasi korupsi di Bank Century. Atau untuk pertanyaan kelembagaan yang ekstrem, apakah BPK keliru melakukan audit investigatif terhadap Bank Century sehingga penegak hukum sampai saat ini belum menemukan pelanggaran hukum terhadap kasus Bank Century. Jika demikian, kasus Bank Century benar-benar akan lenyap.
Katakanlah kasus Bank Century lenyap, pertanyaannya kemudian, apakah lenyapnya karena hanya tak ditemukan indikasi pelanggaran hukum semata? Tidak!
Kuasa politik
Ada tekanan kuasa politik yang menggurita. Konstelasi politik belakangan sepertinya menunjukkan ada indikasi transaksional dalam pelenyapan kasus Bank Century. Sebut saja, misalnya, ”hengkangnya” mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Bank Dunia dan menguatnya posisi Aburizal Bakrie dengan jubah ketua harian Sekretariat Gabungan Koalisi.
Ketika Sri Mulyani meletakkan jabatannya, sikap partai yang dipimpin Bakrie melunak. Terkesan, Sri Mulyani dikorbankan untuk memperlambat dorongan politik terhadap pembongkaran kasus Bank Century. Tak berselang lama, kasasi Dirjen Pajak atas pemeriksaan pajak anak perusahaan milik Bakrie ditolak oleh MA. Seperti ada transaksi kuasa politik di sini.
Kuasa politik memungkinkan individu ataupun kelompok kekuasaan mengambil keuntungan besar secara melawan hukum sekaligus mengamankan propertinya. Rohini Pande dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam kajiannya berjudul Understanding Political Corruption in Low Income Countries (2007), misalnya, memaparkan minimal tiga tindakan yang dilakukan oleh individu pemegang kuasa politik untuk mengeksploitasi kuasa politiknya.
Pertama, mencuri sumber daya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menjarah dana masyarakat atau memanfaatkan posisinya sebagai regulator kebijakan ekonomi atau melakukan suap. Kedua, melakukan korupsi di proses pemilihan umum dengan membeli suara, mengontrol media, dan membatasi informasi bagi publik. Ketiga, menyimpangi alokasi (misallocate) sumber daya publik dengan memilih target khusus untuk kelompoknya.
Kajian Pande memberikan gambaran bahwa dominasi kuasa politik apalagi bila dikawinkan dengan kekuatan ekonomi, akan dengan mudah mengenyampingkan hukum, bahkan pun memberikan tekanan kepada penegak hukum agar tidak mengutak-atik kasus yang sedang membelit pemegang kuasa politik. Pendek kata, kuasa politik dapat membuat kasus Bank Century lenyap by design, bukan semata tak ditemukan indikasi korupsi.
Boleh jadi, SKPP Bibit-Chandra, pengamanan terhadap dugaan terlibatnya beberapa petinggi Kejaksaan Agung dan kepolisian dalam skandal mafia perpajakan adalah bagian dari barter politik untuk melenyapkan kasus Bank Century, yang selanjutnya dapat menyelamatkan kepentingan rezim politik yang lebih besar. Dan, bukankah semua mungkin dalam lingkaran kuasa politik?
Agar kasus Bank Century tak lenyap, mau tak mau, kuasa politik harus disingkirkan. Kemudian menitipkan asa ke para penegak hukum, khususnya KPK, sekaligus membuktikan independensinya dalam mengusut kasus Bank Century. Selebihnya, biarlah Tuhan yang mengurusnya.
*Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/06/17474138/
Sinyal lenyapnya kasus Bank Century didapatkan tatkala para penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan kepolisian menggelar rapat dengan tim pengawas kasus Bank Century bentukan DPR.
KPK, misalnya, setelah memeriksa 31 orang dari Bank Indonesia, 39 orang dari Bank Century, 11 orang dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), 2 orang dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan, 1 orang dari Bapepam, dan 12 orang lainnya, menyatakan untuk sementara tak ditemukan indikasi korupsi di kasus Bank Century (Kompas, 9/6/2010).
Lima pelanggaran
Agak mengherankan jika menilai tak ada indikasi korupsi di kasus Bank Century sebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pemegang kuasa memeriksa keuangan negara menemukan ada dugaan pelanggaran hukum. BPK pun mengundang KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian (14/12/2009) pada presentasi temuannya.
BPK mencatat lima pelanggaran hukum di kasus Bank Century. Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BPMK) melalui pemberian surat-surat berharga (SSB) yang bernilai rendah. Aturan hukum yang berpotensi ditubruk adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kedua, pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus Bank Century, dan pihak terkait melalui pemberian kredit, seperti letter of credit fiktif.
Ketiga, kebijakan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/ 2008 tanggal 30 Oktober 2008 yang menentukan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang harus dimiliki oleh Bank calon penerima FPJP adalah 8 persen. Padahal, CAR Bank Century minus. Diduga, ada rekayasa untuk membuat CAR Bank Century menjadi positif dan di atas 8 persen.
Keempat, potensi pelanggaran terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Kelima, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 dinilai oleh BPK tidak mempunyai landasan hukum.
Dokumen lima temuan pelanggaran BPK tersebut sudah berada di tangan lembaga penegak hukum karena BPK mengundang mereka untuk melihat dan mendengarkan paparannya secara langsung, tahun lalu. Apakah penegak hukum tak menelaah dengan sungguh-sungguh lima pelanggaran tersebut?
Selain itu, pelanggaran FPJP dan penyertaan modal sementara (PMS) Bank Century juga sudah diperiksa secara politik. Melalui hak angket, Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century memanggil pihak-pihak terkait kasus Bank Century. Hasilnya, pada sidang paripurna (3/3), 325 anggota DPR dengan menepis 212 anggota yakin bahwa kebijakan menyelamatkan Bank Century adalah salah, melanggar aturan hukum.
Pemeriksaan keuangan BPK serta pemeriksaan politik DPR berpendapat sama, ada pelanggaran dalam kasus Bank Century. Lalu, kenapa pemeriksaan hukum menyatakan berbeda (meskipun sementara) bahwa tak ada pelanggaran atau tak ditemukan indikasi korupsi di Bank Century. Atau untuk pertanyaan kelembagaan yang ekstrem, apakah BPK keliru melakukan audit investigatif terhadap Bank Century sehingga penegak hukum sampai saat ini belum menemukan pelanggaran hukum terhadap kasus Bank Century. Jika demikian, kasus Bank Century benar-benar akan lenyap.
Katakanlah kasus Bank Century lenyap, pertanyaannya kemudian, apakah lenyapnya karena hanya tak ditemukan indikasi pelanggaran hukum semata? Tidak!
Kuasa politik
Ada tekanan kuasa politik yang menggurita. Konstelasi politik belakangan sepertinya menunjukkan ada indikasi transaksional dalam pelenyapan kasus Bank Century. Sebut saja, misalnya, ”hengkangnya” mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Bank Dunia dan menguatnya posisi Aburizal Bakrie dengan jubah ketua harian Sekretariat Gabungan Koalisi.
Ketika Sri Mulyani meletakkan jabatannya, sikap partai yang dipimpin Bakrie melunak. Terkesan, Sri Mulyani dikorbankan untuk memperlambat dorongan politik terhadap pembongkaran kasus Bank Century. Tak berselang lama, kasasi Dirjen Pajak atas pemeriksaan pajak anak perusahaan milik Bakrie ditolak oleh MA. Seperti ada transaksi kuasa politik di sini.
Kuasa politik memungkinkan individu ataupun kelompok kekuasaan mengambil keuntungan besar secara melawan hukum sekaligus mengamankan propertinya. Rohini Pande dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam kajiannya berjudul Understanding Political Corruption in Low Income Countries (2007), misalnya, memaparkan minimal tiga tindakan yang dilakukan oleh individu pemegang kuasa politik untuk mengeksploitasi kuasa politiknya.
Pertama, mencuri sumber daya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan menjarah dana masyarakat atau memanfaatkan posisinya sebagai regulator kebijakan ekonomi atau melakukan suap. Kedua, melakukan korupsi di proses pemilihan umum dengan membeli suara, mengontrol media, dan membatasi informasi bagi publik. Ketiga, menyimpangi alokasi (misallocate) sumber daya publik dengan memilih target khusus untuk kelompoknya.
Kajian Pande memberikan gambaran bahwa dominasi kuasa politik apalagi bila dikawinkan dengan kekuatan ekonomi, akan dengan mudah mengenyampingkan hukum, bahkan pun memberikan tekanan kepada penegak hukum agar tidak mengutak-atik kasus yang sedang membelit pemegang kuasa politik. Pendek kata, kuasa politik dapat membuat kasus Bank Century lenyap by design, bukan semata tak ditemukan indikasi korupsi.
Boleh jadi, SKPP Bibit-Chandra, pengamanan terhadap dugaan terlibatnya beberapa petinggi Kejaksaan Agung dan kepolisian dalam skandal mafia perpajakan adalah bagian dari barter politik untuk melenyapkan kasus Bank Century, yang selanjutnya dapat menyelamatkan kepentingan rezim politik yang lebih besar. Dan, bukankah semua mungkin dalam lingkaran kuasa politik?
Agar kasus Bank Century tak lenyap, mau tak mau, kuasa politik harus disingkirkan. Kemudian menitipkan asa ke para penegak hukum, khususnya KPK, sekaligus membuktikan independensinya dalam mengusut kasus Bank Century. Selebihnya, biarlah Tuhan yang mengurusnya.
*Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/06/17474138/