4 Agu 2010

Balada Seorang Dalang Potehi

HIDUP yang dia jalani bukan jalan mulus, atau jalan yang penuh pepohonan rindang. Namun, dengan teladan dan semangat pantang mundur yang diwariskan ayahnya, dia menjalani hidup ini dengan tabah, penuh optimisme, dan tanpa keluh-kesah. Begitulah perjalanan hidup Thio Tiong Gie, seorang dalang wayang Potehi di Semarang, yang namanya dikenal di pelbagai kota di Indonesia.

Pada awal berkiprah sebagai dalang wayang Potehi, motivasi Thio Tiong Gie yang ketika itu berusia 25 tahun, adalah mencari penghasilan untuk membantu meringankan beban ekonomi kedua orangtuanya yang harus menafkahi 10 orang anak. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan budaya leluhurnya. Kesenian wayang Potehi pun ikut dipasung. Akibatnya, Thio Tiong Gie terpaksa berganti profesi dari dalang wayang Potehi menjadi pedagang besi rongsokan. Dia banyak belajar dari sejumlah pedagang besi rongsokan di kota Tegal. Bisnis besi rongsokan ini, ternyata, berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya, sehingga akhirnya bisa membuka bengkel besi dan las di Gang Lombok, Semarang.

Namun, sejak era reformasi bergulir, warga Tionghoa diperbolehkan kembali mengekspresikan budaya leluhurnya. Thio Tiong Gie yang saat itu sudah cukup berjaya dengan bengkel besi dan las, segera kembali menekuni profesinya sebagai dalang wayang Potehi. Usaha bengkel besi dan las miliknya diteruskan oleh anaknya. “Saya sudah terlanjur cinta pada kesenian wayang Potehi,” kata Thio Tiong Gie dengan nada suara yang berat dan keras, ketika dibincangi China Town di rumahnya, beberapa waktu silam. Pria yang kini berusia 77 tahun ini menempati sebuah rumah sederhana di Kampung Pesantren, Jalan Petudungan, Semarang.

Mengungsi ke Semarang
Ayah tujuh anak, engkong 23 cucu, dan kongco satu ini mengungkapkan, ayahnya adalah seorang pengusaha kain yang kaya-raya di Demak, Jawa Tengah. Namun, hidup yang mapan itu ternyata tidak abadi. Kemapanan ekonomi orangtuanya rontok bersamaan dengan meletusnya peristiwa huru-hara yang dikenal sebagai “Geger Demak” pada tahun 1942.

Saat itu, toko milik orangtuanya habis dirampok oleh perusuh. Bahkan, keluarga kedua orangtuanya bersama dengan keluarga-keluarga lainnya disekap di dalam penjara yang berada di pinggir alun-alun. Beberapa bulan kemudian, tentara Jepang memasuki kota Demak. Saat itulah para tahanan, termasuk kedua orangtuanya, dibebaskan. Sekeluar dari penjara, keluarga orangtuanya mengungsi ke kota Semarang dengan berbekal seadanya. Di Semarang, selama setahun mereka ditampung oleh seorang teman ayahnya di Jalan Wotgandul Dalam, sebelum kemudian pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Pesantren.

Di Semarang, ayahnya berusaha menghidupi keluarga dengan jual-beli barang-barang rongsokan keliling kota. “Selama 5 tahun papa saya berkeliling menjual barang-barang bekas sampai kulitnya dari putih menjadi hitam kena sinar matahari,” kata Thio Tiong Gie mengisahkan perjuangan orangtuanya menghidupi keluarga.

Thio Tiong Gie sendiri membantu dengan usaha jual-beli kertas bekas dari koran sampai majalah. Suatu hari, dalam tumpukan koran-koran bekas yang dibelinya, dia menemukan sebuah buku cerita lama dalam bahasa Mandarin dengan judul Chu Hun Tay Chu Chao Kok (Putera Mahkota Chu Hun Melarikan Diri). Kisah yang diceritakan dalam buku ini terjadi pada masa Dinasti Song Tiauw (Sung Cauw). Buku tersebut sangat menarik hatinya. Dia membacanya berulang kali sampai dia hapal di luar kepala mengenai seluruh jalan cerita, termasuk dialog-dialog yang diucapkan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

Suatu hari pada tahun 1958, ketika Thio Tiong Gie sedang asyik membaca buku Chu Hun Tay Chu Chao Kok”, seorang teman ayahnya bernama Oei Sing Twie berkunjung ke rumahnya. “Kamu bisa baca buku itu?” tanya Oei Sing Twie dengan nada heran. “Bisa,” jawab Thio Tiong Gie tegas sambil memberi contoh. Dia membacanya dengan betul dan suara keras.

“Wah, kalau begitu, kamu bisa,” kata sang tamu sambil manggut-manggut dengan tersenyum puas.
“Bisa apa?” sergah Thio Tiong Gie dengan heran.

“Kamu bisa jadi cho sai hu (dalang wayang Potehi),” jawab sang tamu, yang ternyata pemilik tiga perangkat wayang Potehi dan pencari order pertunjukan wayang Potehi dari satu kota ke kota lain di Pulau Jawa.

Kemudian, tamu tersebut memberi petunjuk-petunjuk bagaimana memainkan wayang Potehi. Boneka-boneka wayang Potehi tersebut digerakkan dengan menggunakan kelima jari tangan. Sekalipun belum pernah memainkan boneka Potehi, Thio Tiong Gie dinilai oleh sang tamu cukup luwes memainkan boneka tersebut dengan jari-jari kedua tangannya.

Beberapa pekan kemudian, ketika ada permintaan pertunjukan wayang Potehi di kota Cianjur, Jawa Barat, Thio Tiong Gie diminta menjadi dalangnya. Sekitar 10 hari sebelum tiba hari pertunjukan, Thio Tiong Gie dipinjamkan dua buah boneka Potehi untuk latihan agar lebih luwes. “Pertunjukan di Cianjur merupakan pentas pertama saya sebagai dalang wayang Potehi. Pada waktu itu, saya berumur 25 tahun,” kata Thio Tiong Gie mengenang debutnya sebagai dalang wayang Potehi. Dalam pementasan pertama itu, Thio Tiong Gie memainkan cerita dari buku Chu Hun Tay Chu Chao Kok. Dalam pementasan pertama itu, dia belum begitu gesit memainkan boneka-bonek Potehi. Tapi, dia merasa terhibur menyaksikan penonton tampak puas dengan pertunjukannya itu.

Pentas kedua berlangsung di kota Welahan, Jawa Tengah. Kemudian, dia diundang ke kota Surabaya oleh Tan Ang An, yang ternyata seorang dalang senior wayang Potehi yang kondang di Jawa Timur. “Saya diminta menggantikan beliau main di Blitar selama satu minggu, karena beliau sendiri pada waktu yang bersamaan akan main di kota lain,” ungkap Thio Tiong Gie menceritakan awal pertemuannya dengan sang dalang senior yang kondang itu.

Selesai bertugas di Blitar, Tan Ang An memberikan 10 buku cerita dalam bahasa Tionghoa, yang merupakan cerita pakem untuk pertunjukan wayang Potehi kepada Thio Tiong Gie. “Sejak dapat buku-buku tersebut, barulah saya bisa memainkan cerita-cerita Sie Jin Kui, dan lain-lain,” kata Thio Tiong Gie, yang merasa bersyukur dengan pemberian buku-buku tersebut, yang sampai sekarang menjadi buku pakem dalam memainkan kisah-kisah menarik pada setiap kali dia mementaskan wayang Potehi di berbagai kota.

Sekarang, di usia yang sudah 77 tahun, Thio Tiong Gie menyadari bahwa bagaimanapun besar cintanya pada kesenian wayang Potehi, dia tidak bisa melestarikan kesenian ini tanpa ada generasi muda yang meneruskannya. “Saya prihatin, sampai sekarang belum mendapatkan penerus saya untuk menjaga kelestarian wayang Potehi,” katanya. Anak-anak dan cucu-cucunya sendiri tidak ada yang berminat menjadi dalang wayang Potehi. Di antara pembaca China Town, mungkin ada yang berminat menggeluti kesenian wayang Potehi? Semoga. (s.n. wargatjie)