9 Okt 2010

Dipenjara 50 Hari Gara-gara Dua Batang Singkong

Hujan yang turun pada Rabu (7/10) siang membatalkan perjalanan Kasminingsih (32) ke Desa Demungan, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Rencananya, dia akan ke rumah keponakannya di desa tersebut untuk meminjam uang terkait pembebasan suaminya.

Warga Desa Wrati, Kecamatan Kejayan, itu mengatakan, dia butuh uang untuk menjemput suaminya, Supriyadi (40). Ayah dua anak ini dijadwalkan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Bangil, Pasuruan, Kamis ini, setelah 50 hari dikurung karena mencuri singkong dan bambu.

Dalam persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pasuruan menyatakan, sopir angkutan umum itu bersalah karena mencuri dua batang singkong dan sebatang bambu di atas lahan sengketa.

Bambu yang dicuri dinilai Rp 5.000, sedangkan singkong tak dinilai. Pencurian terjadi 27 Desember 2009. Namun, penahanan Supriyadi baru berlangsung pertengahan Agustus 2010.

Kasus Rp 5.000 ini berawal dari laporan Satuna, yang mengklaim memiliki lahan tempat dua batang singkong itu tumbuh. Setelah berbagai proses verbal, Selasa lalu hakim PN Pasuruan memvonis Supriyadi dengan hukuman 50 hari penjara atau 48 hari setelah masa penahannya dimulai. Selain hukuman penjara, Supriyadi juga diharuskan membayar biaya perkara Rp 2.000.

”Suami saya legawa dengan putusan hakim walau sebenarnya suami saya sudah bersedia membayar ganti rugi atas dua batang singkong dan sebatang bambu yang kata hakim dicuri suami saya,” ujar Kasminingsih.

Selama Supriyadi ditahan, praktis tak ada pemasukan untuk keluarga. Selama ini kebutuhan hidup mereka ditopang oleh upah Supriyadi mengemudi angkutan umum dan sedikit keuntungan dari warung nasi yang dijalankan Kasminingsih di rumah mereka di RT 19 Desa Wrati. ”Sejak (Supriyadi) masuk tahanan, saya tidak tenang berjualan. Tidak ada yang membantu juga. Sudah dua bulan saya tidak berjualan,” papar Kasminingsih.

Kasminingsih mengaku, menjelang Idul Fitri lalu dia memang sempat dagang pakaian.
”Tapi, setelah Lebaran lewat, tidak bisa lagi berdagang baju karena hanya laris menjelang Lebaran,” ujarnya seraya menambahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dia harus menjual sisa beras atau berutang kepada keluarga.

Sengketa tanah
Kasus pencurian ini sebenarnya juga terkait dengan sengketa tanah antara keluarga Supriyadi dan Satuna. Orangtua Satuna memiliki dokumen Leter C atas lahan 1,3 hektar di desa itu, sementara keluarga Supriyadi memiliki Petok D atas lahan yang sama.

Dokumen Leter C merupakan buku pencatatan tanah di suatu desa. Di dalamnya tertulis siapa pemilik lahan. Leter C bisa dijadikan dasar permohonan pembuatan sertifikat tanah.
Dokumen Petok D biasanya berisi nama penggarap lahan dan siapa wajib pajak atas lahan tersebut.

Keluarga Supriyadi bersikeras, lahan yang ditanami singkong yang diambilnya itu adalah milik keluarganya. Dalam persidangan, bukti peralihan kepemilikan lahan itu juga terbukti tidak ditandatangani keluarga Supriyadi.

”Buku penjualan (lahan) ditandatangani Asfandi dan Aswati dengan saksi almarhum Modin (imam desa). Tidak ada yang tahu siapa penjualnya. Penjualan biasanya disaksikan kepala desa,” kata Kasminingsih.

Di sisi lain, keluarga Satuna meyakini bahwa lahan itu sah milik keluarganya. Itulah sebabnya, dia melaporkan pencurian dua batang singkong dan sebatang bambu tersebut ke polisi. ”Bambu bukan (tumbuh) di lahan yang diributkan. Katanya milik Pak Sukardi dan tumbuh di pinggir bidang tanah. Suami saya bayar bambu itu kepada Pak Sukardi, waktu itu diminta Rp 5.000,” demikian pembelaan keluarga Satuna.

Sukim, tetangga Supriyadi, menuturkan, singkong yang diambil Supriyadi sebenarnya tidak dimakan karena busuk. ”Hanya bambu saja dipakai,” katanya.

Ironis memang. Pengadilan bisa tegas untuk kasus senilai Rp 5.000, sementara kasus korupsi yang nilainya miliaran tak sedikit yang menguap.(Kris Razianto Mada)

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/07/03502220/