JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama geleng-geleng kepala dengan paparan Dinas Pelayanan Pajak. Untuk sistem online penarikan pajak yang ditenderkan, Pemprov DKI malah bisa harus membayar sekitar Rp 8 triliun per tahunnya.
Dalam rapat dengan Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta pada Jumat, 30 November 2012, kemarin, Basuki ingin omset pajak tahun 2013 sudah diketahui. Sebab, selama ini banyak wajib pajak yang bermasalah, namun penyelesaiannya pun tidak jelas.
Kemudian, Basuki menanyakan kepada Kepala DPP DKI jumlah wajib pajak dari hotel dan restoran. Menurut data, tercatat ada 1.501 hotel dan kos-kosan, serta 8.000 restoran yang merupakan wajib pajak.
"Semua data ini saya minta, alamatnya pemiliknya, teleponnya saya minta. Kasih soft copy. Kita secara acak akan telepon mereka," kata Basuki, seperti dalam video yang diunggah PemprovDKI di Youtube berjudul "30 Nov 2012 Wagub Bpk. Basuki T. Purnama menerima paparan Dinas Pelayanan Pajak".
"Jadi begini, Pak. Kalau Bapak tidak bisa selesaikan, saya bisa selesaikan sendiri dengan orang bank. Saya punya orang, bisa saya suruh tongkrongin, bisa datang sendiri datanya. Hotel A dapat berapa, nanti saya bicara ke pengusaha yang punya. Kalau dia enggak mau bayar pajak dengan betul, kita tutup usahanya. Kalau dia tidak mau bayar pajak, saya akan bilang bahwa kamu telah mencuri sekian persen," tutur Basuki kepada Kepala DPP DKI Iwan Setiawandi.
Menurut Basuki, sebenarnya mudah untuk mengetahui omset hotel dan restoran per bulannya. Salah satunya bekerja sama dengan bank-bank, seperti BRI, BCA dan Mandiri. Dia yakin, setiap perusahaan itu memiliki rekening bank.
Dari situ, kata dia, bisa ketahuan omset pajaknya dengan mengkali 10 persen dari total pendapatan. Sehingga, Dinas Pelayanan Pajak DKI tidak perlu mentenderkan sistem online yang bisa menghabiskan anggaran Rp 8 triliun per tahun.
"Untuk mengetahui omset, paksa mereka, uang-uang masuk mereka langsung disetor ke bank," kata Basuki.
"Nah, nanti kita lihat di bank, Mandiri, BRI, BCA, kalau wajib pajak ini sering rusak transaksinya karena dia mati hidup mati hidup mesinnya, ketahuan, kita cabut izinnya. Kita enggak mau tahu," ujarnya lagi.
Menurut Basuki, jika menggunakan sistem online yang ditenderkan oleh DPP, Pemprov DKI harus membayar orang tujuh hingga delapan triliun rupiah hanya untuk menarik pajak wajib pajak. Padahal, dengan sistem kerjasama dengan bank, DPP tidak mengeluarkan uang sepersen pun.
"Ini tidak bisa sistem ini, sasaran online Bapak. Saya kira dengan sistem online bapak kita jadi hemat, tapi kita dirampok, Pak. Bayangkan kalau semua online, kita bayar orang itu Rp 8 triliun per tahun. Bapak bisa katakan, tapi dapatnya banyak, Pak. Betul, tapi saya mau dengan dapat banyak kita tidak keluar satu sen pun," tutur Basuki.
Dia mengatakan, DPP bisa memanfaatkan pegawainya untuk menarik pajak dengan tambahan bonus.
Basuki (BTP): Berapa orang di kantor, Bapak?
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP): 930, Pak.
BTP: Seribu orang saja, dikasih hadiah bonus Rp 10 juta, dapat Rp 10 miliar satu bulan. Rp 12 miliar setahun. Buat apa saya kasih orang Rp 8 triliun ke orang. Rugi kan? Ini di luar gaji, Bapak. Itu sepuluh juta, kurang.. kasih Rp 20 juta. Saya yakin orang pada mau pindah ke pajak semua. Dikasih Rp 30 juta masih Rp 360 miliar, murah bener (dibanding bayar orang Rp 8 triliun per tahun).
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/02/09320981/
Kemudian, Basuki menanyakan kepada Kepala DPP DKI jumlah wajib pajak dari hotel dan restoran. Menurut data, tercatat ada 1.501 hotel dan kos-kosan, serta 8.000 restoran yang merupakan wajib pajak.
"Semua data ini saya minta, alamatnya pemiliknya, teleponnya saya minta. Kasih soft copy. Kita secara acak akan telepon mereka," kata Basuki, seperti dalam video yang diunggah PemprovDKI di Youtube berjudul "30 Nov 2012 Wagub Bpk. Basuki T. Purnama menerima paparan Dinas Pelayanan Pajak".
"Jadi begini, Pak. Kalau Bapak tidak bisa selesaikan, saya bisa selesaikan sendiri dengan orang bank. Saya punya orang, bisa saya suruh tongkrongin, bisa datang sendiri datanya. Hotel A dapat berapa, nanti saya bicara ke pengusaha yang punya. Kalau dia enggak mau bayar pajak dengan betul, kita tutup usahanya. Kalau dia tidak mau bayar pajak, saya akan bilang bahwa kamu telah mencuri sekian persen," tutur Basuki kepada Kepala DPP DKI Iwan Setiawandi.
Menurut Basuki, sebenarnya mudah untuk mengetahui omset hotel dan restoran per bulannya. Salah satunya bekerja sama dengan bank-bank, seperti BRI, BCA dan Mandiri. Dia yakin, setiap perusahaan itu memiliki rekening bank.
Dari situ, kata dia, bisa ketahuan omset pajaknya dengan mengkali 10 persen dari total pendapatan. Sehingga, Dinas Pelayanan Pajak DKI tidak perlu mentenderkan sistem online yang bisa menghabiskan anggaran Rp 8 triliun per tahun.
"Untuk mengetahui omset, paksa mereka, uang-uang masuk mereka langsung disetor ke bank," kata Basuki.
"Nah, nanti kita lihat di bank, Mandiri, BRI, BCA, kalau wajib pajak ini sering rusak transaksinya karena dia mati hidup mati hidup mesinnya, ketahuan, kita cabut izinnya. Kita enggak mau tahu," ujarnya lagi.
Menurut Basuki, jika menggunakan sistem online yang ditenderkan oleh DPP, Pemprov DKI harus membayar orang tujuh hingga delapan triliun rupiah hanya untuk menarik pajak wajib pajak. Padahal, dengan sistem kerjasama dengan bank, DPP tidak mengeluarkan uang sepersen pun.
"Ini tidak bisa sistem ini, sasaran online Bapak. Saya kira dengan sistem online bapak kita jadi hemat, tapi kita dirampok, Pak. Bayangkan kalau semua online, kita bayar orang itu Rp 8 triliun per tahun. Bapak bisa katakan, tapi dapatnya banyak, Pak. Betul, tapi saya mau dengan dapat banyak kita tidak keluar satu sen pun," tutur Basuki.
Dia mengatakan, DPP bisa memanfaatkan pegawainya untuk menarik pajak dengan tambahan bonus.
Basuki (BTP): Berapa orang di kantor, Bapak?
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP): 930, Pak.
BTP: Seribu orang saja, dikasih hadiah bonus Rp 10 juta, dapat Rp 10 miliar satu bulan. Rp 12 miliar setahun. Buat apa saya kasih orang Rp 8 triliun ke orang. Rugi kan? Ini di luar gaji, Bapak. Itu sepuluh juta, kurang.. kasih Rp 20 juta. Saya yakin orang pada mau pindah ke pajak semua. Dikasih Rp 30 juta masih Rp 360 miliar, murah bener (dibanding bayar orang Rp 8 triliun per tahun).
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/02/09320981/