CHINATOWN - Kalau dipandang sekilas, tak ada yang istimewa pada bangunan rumah yang berada di Gang Warung 86, Semarang, Jawa Tengah itu. Tampak luarnya tak jauh berbeda dengan rumah-rumah lain di sisi kiri dan kanannya. Namun, di rumah itulah Tan Eng Tiong (陈永忠) berkreasi. Selain tempat tinggal, pria berusia 65 tahun ini menjadikan rumahnya sebagai sanggar lukis.
Kalau Anda menginginkan oleh-oleh berupa lukisan pohon bambu, udang, atau ikan lele dalam gaya lukisan Tionghoa, datanglah ke rumah Tan Eng Tiong. Dalam waktu singkat, ia akan melukisnya dengan menggunakan tinta bak. “Hanya butuh dua menit untuk melukis pohon bamboo. Bahkan, hanya 30 detik untuk melukis seekor udang. Tapi, untuk melukis seekor naga, dibutuhkan waktu sekitar 2 jam,” kata Tan Eng Tiong, mengawali perbincangan dengan China Town, Selasa siang (15/6).
Harga ‘lukisan kilat’ tinta bak itu terbilang murah, hanya Rp 25 ribu perlembar, baik lukisan pohon bambu, udang, ikan lele maupun bunga mawar. Sedangkan lukisan naga dengan tinta bak dijual seharga Rp 75 ribu. Untuk melukis shio, Eng Tiong butuh waktu 3 sampai 7 hari, tergantung banyaknya pesanan dan jumlah shio yang dipesan. Harganya juga berbeda-beda, tergantung jumlah shio dan jumlah gambar pelengkapnya.
Animo masyarakat membeli lukisan karya Eng Tiong lumayan tinggi. Mayoritas pembelinya memesan lukisan shio. “Tiap bulan rata-rata empat sampai lima keluarga yang memesan lukisan shio. Mereka berasal dari Jakarta dan Bogor, bahkan ada pesanan dari kota di luar Pulau Jawa seperti Mataram, di samping pesanan dari Kota Semarang,” ungkapnya.
Sempat Minder
Tan Eng Tiong mulai hobi melukis sejak duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Hwa Ing di Kota Semarang. Mata pelajaran menggambar menjadi mata pelajaran kesenangannya. Di rumah, dia sering membuat coretan-coretan membentuk gambar hewan atau pemandangan pada kertas gambar. Hobi menggambar itu terus berlanjut hingga dia duduk di SMP Hwa Ing dan SMA In Hwa di Semarang. Bahkan, dia pernah belajar melukis pada pelukis Semarang bernama Bee Tong Ling selama setahun, tepatnya 1958 sampai 1959. “Saya belajar melukis dengan cat minyak pada pelukis Bee Tong Ling tanpa biaya. Bahkan sebaliknya, dia memberikan satu set cat minyak buat saya,” ungkap Eng Tiong mengenang kebaikan sang pelukis yang sekarang sudah almarhum.
Anak pedagang tekstil ini mengaku sempat stres dan minder ketika mulai mencoba hidup sebagai pelukis. Sebab, lukisannya yang dibuat dengan cat minyak tidak laku-laku. Lukisan seekor kerbau hasil karyanya dengan cat minyak yang dia titipkan di sebuah toko suvenir di Semarang, baru laku setelah lima tahun dipajang di toko itu. Akhirnya, dia yang saat itu masih bujangan menghentikan kegiaatannya melukis, lalu membantu ayahnya yang membuka toko tekstil di rumahnya.
Ketika ayahnya meninggal dunia, toko tekstil itu dikelola oleh keponakannya, tapi akhirnya bangkrut. Sedangkan Eng Tiong sendiri membuka biro jasa pengiriman paket dalam negeri serta pemesanan tiket pesawat penerbangan dalam negeri.
Namun, semangat melukis Eng Tiong kembali menggelora pada tahun 2005. Pada masa itu, Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata ) menyelenggarakan pasar malam di kawasan pecinan setiap Jumat malam hingga Minggu malam. Di pasar malam ini, Eng Tiong melihat seorang laki-laki tua menjual lukisan-lukisan cat minyak yang menarik banyak orang untuk membeli.
“Menurut penilaian saya, lukisan-lukisan cacat minyak yang dibuat dan dijual orang itu, tidak lebih bagus daripada lukisan buatan saya tempo dulu. Bahkan, lukisan saya masih lebih bagus daripada lukisan-lukisan tersebut. Maka, saya bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa saya harus minder menjual lukisan saya. Akhirnya, saya mulai kembali giat melukis. Setiap hari saya berlatih secara otodidak dengan menggunakan tinta bak dan membuat chinese painting dengan panduan buku-buku chinese painting terbitan luar negeri. Sekalipun sudah mahir, sampai saat ini saya masih berlatih setiap hari untuk lebih meningkatkan mutu lukisan saya,” tutur suami Siani Wijaya ini.
Beberapa bulan kemudian, Tan Eng Tiong mulai membuka dirinya sebagai pelukis cepat tinta bak dan 12 shio. Rumahnya di Gang Warung menjadi sanggar sekaligus showroom untuk lukisan-lukisan hasil karyanya. Bahkan, sekarang Tan Eng Tiong juga menerima murid yang ingin belajar melukis di sanggarnya. (s.n. wargatjie)
Kalau Anda menginginkan oleh-oleh berupa lukisan pohon bambu, udang, atau ikan lele dalam gaya lukisan Tionghoa, datanglah ke rumah Tan Eng Tiong. Dalam waktu singkat, ia akan melukisnya dengan menggunakan tinta bak. “Hanya butuh dua menit untuk melukis pohon bamboo. Bahkan, hanya 30 detik untuk melukis seekor udang. Tapi, untuk melukis seekor naga, dibutuhkan waktu sekitar 2 jam,” kata Tan Eng Tiong, mengawali perbincangan dengan China Town, Selasa siang (15/6).
Harga ‘lukisan kilat’ tinta bak itu terbilang murah, hanya Rp 25 ribu perlembar, baik lukisan pohon bambu, udang, ikan lele maupun bunga mawar. Sedangkan lukisan naga dengan tinta bak dijual seharga Rp 75 ribu. Untuk melukis shio, Eng Tiong butuh waktu 3 sampai 7 hari, tergantung banyaknya pesanan dan jumlah shio yang dipesan. Harganya juga berbeda-beda, tergantung jumlah shio dan jumlah gambar pelengkapnya.
Animo masyarakat membeli lukisan karya Eng Tiong lumayan tinggi. Mayoritas pembelinya memesan lukisan shio. “Tiap bulan rata-rata empat sampai lima keluarga yang memesan lukisan shio. Mereka berasal dari Jakarta dan Bogor, bahkan ada pesanan dari kota di luar Pulau Jawa seperti Mataram, di samping pesanan dari Kota Semarang,” ungkapnya.
Sempat Minder
Tan Eng Tiong mulai hobi melukis sejak duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Hwa Ing di Kota Semarang. Mata pelajaran menggambar menjadi mata pelajaran kesenangannya. Di rumah, dia sering membuat coretan-coretan membentuk gambar hewan atau pemandangan pada kertas gambar. Hobi menggambar itu terus berlanjut hingga dia duduk di SMP Hwa Ing dan SMA In Hwa di Semarang. Bahkan, dia pernah belajar melukis pada pelukis Semarang bernama Bee Tong Ling selama setahun, tepatnya 1958 sampai 1959. “Saya belajar melukis dengan cat minyak pada pelukis Bee Tong Ling tanpa biaya. Bahkan sebaliknya, dia memberikan satu set cat minyak buat saya,” ungkap Eng Tiong mengenang kebaikan sang pelukis yang sekarang sudah almarhum.
Anak pedagang tekstil ini mengaku sempat stres dan minder ketika mulai mencoba hidup sebagai pelukis. Sebab, lukisannya yang dibuat dengan cat minyak tidak laku-laku. Lukisan seekor kerbau hasil karyanya dengan cat minyak yang dia titipkan di sebuah toko suvenir di Semarang, baru laku setelah lima tahun dipajang di toko itu. Akhirnya, dia yang saat itu masih bujangan menghentikan kegiaatannya melukis, lalu membantu ayahnya yang membuka toko tekstil di rumahnya.
Ketika ayahnya meninggal dunia, toko tekstil itu dikelola oleh keponakannya, tapi akhirnya bangkrut. Sedangkan Eng Tiong sendiri membuka biro jasa pengiriman paket dalam negeri serta pemesanan tiket pesawat penerbangan dalam negeri.
Namun, semangat melukis Eng Tiong kembali menggelora pada tahun 2005. Pada masa itu, Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata ) menyelenggarakan pasar malam di kawasan pecinan setiap Jumat malam hingga Minggu malam. Di pasar malam ini, Eng Tiong melihat seorang laki-laki tua menjual lukisan-lukisan cat minyak yang menarik banyak orang untuk membeli.
“Menurut penilaian saya, lukisan-lukisan cacat minyak yang dibuat dan dijual orang itu, tidak lebih bagus daripada lukisan buatan saya tempo dulu. Bahkan, lukisan saya masih lebih bagus daripada lukisan-lukisan tersebut. Maka, saya bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa saya harus minder menjual lukisan saya. Akhirnya, saya mulai kembali giat melukis. Setiap hari saya berlatih secara otodidak dengan menggunakan tinta bak dan membuat chinese painting dengan panduan buku-buku chinese painting terbitan luar negeri. Sekalipun sudah mahir, sampai saat ini saya masih berlatih setiap hari untuk lebih meningkatkan mutu lukisan saya,” tutur suami Siani Wijaya ini.
Beberapa bulan kemudian, Tan Eng Tiong mulai membuka dirinya sebagai pelukis cepat tinta bak dan 12 shio. Rumahnya di Gang Warung menjadi sanggar sekaligus showroom untuk lukisan-lukisan hasil karyanya. Bahkan, sekarang Tan Eng Tiong juga menerima murid yang ingin belajar melukis di sanggarnya. (s.n. wargatjie)