JAMBI - Atas desakan Komisi III DPR RI, agar aparat kepolisian menuntaskan kasus PT Delimuda Perkasa (DMP), pihak Polisi Daerah Jambi langsung memanggil pemilik perusahaan Surya Darmadi dan Direktur Utama DMP Jufendiwan, untuk diperiksa sebagai tersangka.
"Kita telah mengirim surat panggilan untuk kedua kalinya terhadap Direktur Utama dan pemilik PT DMP untuk diperiksa sebagai tersangka. Dijadwalkan besok, Kamis (5/8), akan diperiksa penyidik", kata Ajun Komisaris Besar Almansyah, juru bicara Polisi Daerah Jambi, kepada wartawan, Rabu (4/8).
Penyidik Polda Jambi mengenakan kedua tersangka tersebut melanggar pasal pasal 46 (1) atau (2) Undang-Undang RI nomor 18, tentang perkebunan.
Dua hari sebelumnya delapan orang anggota Komisi III DPR RI yang dipimpin Wakil Ketuanya Azis Syamsuddin, mendatangi Mapolda Jambi dan Kejaksaan Tinggi, meminta aparat penegak hukum di daerah ini segera menuntaskan kasus tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI dalam kesempatan bertemu dengan Kapolda Jambi Brigjend R Dadang Garhadi dan jajarannya, Senin lalu, meminta aparat kepolisian setempat segera menutup pabrik pengolahan buah kelapa sawit milik PT DMP ditutup atau diberi garis polisi.
Namun kenyataannya sekarang, himbauan itu belum sempat diindahkan oleh aparat.
Selain kedua orang tersebut, Polda Jambi sebelumnya memang sudah menetapkan seorang lagi tersangka, yakni atas nama Bijak Parangin-Angin, Manajer Pabrik PT DMP. Berkas yang bersangkutan sudah dilimpahkan ke penyidik Kejaksaan Tinggi Jambi.
Anggota Komisi III DPR RI meminta aparat Polisi Daerah (Polda) Jambi agar segera memasang garis polisi dan menutup pabrik pengolahan buah kelapa sawit milik PT Delimuda Perkasa (DMP), karena jelas-jelas tidak memiliki izin operasional.
"Kami meminta Polda Jambi segera menutup dan memasang garis polisi di lokasi pabrik DMP. Kami sangat kecewa sudah empat tahun perususahaan ini beroperasi tanpa izin, tapi tidak dilakukan penindakan", kata Trimedia Panjaitan, salah seorang anggota Komisi III DPR RI, saat pertemuan dengan Kapolda Jambi dan jajarannya di Mapolda Jambi, Senin lalu.
Anggota Komisi III menduga lambannya pengusutan kasus ini akibat adanya tekanan dari Kapori Jendral Bambang Hendarso Danuri dan Staf khusus Presiden Sardan Marbun. "Kami sangat kecewa sekali dengan adanya cara penegakan hukum seperti ini", kata Ahmad Yani, salah seorang Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Bahkan Herman Heri, dalam kesempatan itu dengan tegas meminta agar Direktur Serse dan Kriminalitas Polda Jambi Komisaris Besar Dul Alim dicopot dari jabatannya, karena dianggap main-main dan tidak serius menangani kasus ini.
Dewan meminta jajaran Polda Jambi agar, segera menuntaskan dan melaporkan perkembangannya kepada pihak Komisi III sebelum 18 Agustus mendatang.
Keberadaan PT DMP sangat merugikan bagi negara dan daerah, karena diasumsikan juga telah mengemplang pajak mencapai Rp368,6 miliar lebih. Tidak itu saja, selama empat tahun beroperasi lebih lanjut dinilai Komisi III DPR RI menampung buah sawit dari warga secara ilegal.
Sementara itu Ketua Anggota Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin meminta jajaran Polda Jambi tidak hanya melakukan pengusutan secara hukum terhadap PT DMP, tapi juga terhadap perusahaan lain yang beroperasi di daerah ini, mengingat tidak menutup kemungkinan juga melakukan hal sama.
"Selama ini kita ketahui banyak para investor bak pahlawan menanamkan modalnya, tapi dibalik itu melakukan aksi perampokan terhadap negara", katanya.
Kapolda Jambi Brigjend R Dadang Garhadi, dalam kesempatan itu berjanji jika pihaknya akan menuntaskan kasus ini sesegera mungkin. "Kami sejak awal serius melakukan pengusutan kasus DMP, tidak hanya masalah izin operasional, tapi juga dugaan pengemplangan pajak dan Amdal", ujar Kapolda.
Kapolda menyatakan siap untuk dilepas jabatannya jika dinilai main-main dalam pengusutan kasus ini. Dadang pun mengakui, jika pihaknya tidak ada tekanan dari pihak mana pun dalam mengusut kasus tersebut.
"Saya baru sebulan lebih sedikit menjabat Kapolda Jambi, tapi saya berjanji akan menuntaskan kasus ini sesuai date line ditetapkan anggota Komisi III DPR RI", kata Dadang.
Kasus ini bermula dengan adanya pengaduan dari anggota dewan Kabupaten Batanghari ke pihak Polisi Daerah Jambi beberapa waktu lalu, karena berdasarkan asumsi PT DMP yang memiliki pabrik pengolahan buah kelapa sawit di Desa Sengkatibaru, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Jambi, beroperasi tanpa izin sekitar empat tahun lalu, diduga telah mengamplang pajak sebesar Rp160 miliar.
"Berdasarkan pantauan kami PT DMP tidak pernah membayar pajak. Pada hal, kewajiban perusahaan ini untuk membayar pajak ke negara ditaksir Rp40 miliar per tahun, artinya selama empat tahun itu sudah Rp160 miliar tidak pernah disetor kepada negara", kata Ahmad Dailami, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Batanghari, kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
PT DMP mengelolah pabrik kelapa sawit berkafasitas 80 ton per jam sejak empat tahun lalu, setelah 15 Desember 2006, membeli pabrik tersebut dari PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS).
Anehnya, perusahaan itu tidak memiliki kebun sendiri. Dalam pengoperasiannya sehari-hari perusahaan ini menampung buah sawit dari para petani sawit yang berada di sekitar kawasan perusahaan.
"Ini saja sudah menyalahi aturan, karena setiap perusahaan membangun pabrik harus memiliki lahan kebun sendiri minimal 2.000 hektare", kata Abdul Fatta, Ketua DPRD Kabupaten Batanghari.
"Saya heran kok sudah beroperasi empat tahun tanpa izin pihak pemerintah daerah tidak melakukan tindakan. Ada apa ini", kata Fattah kepada wartawan, sembari bertanya.
PT DMP tidak memiliki izin pengoperasian pabrik, karena memang pemerintah daerah setempat tidak mau mengeluarkan izin operasional, mengingat perusahaan ini tidak memiliki kebun sendiri.
"Memang kami tidak mau memberikan izin operasional kepada PT DMP, karena alasan perusahaan tidak memiliki kabun sendiri sesuai dengan aturan", kata Erfan, Sekeretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Batanghari saat dikonfirmasi Tempo melalui telpon selulernya.
Dikatan Erfan, pihaknya tahun 2008 telah memerintahkan pabrik itu ditutup, tapi dibuka kembali.Pertimbangannya, karena banyak petani sawit hanya bisa menjual hasil panen mereka kepada PT DMP.
"Saya akui memamng perusahaan tidak ada memberi sepeser pun PAD ke pemerintah daerah, tapi saya pikir tidak jadi masalah mengingat kami lebih memikirkan nasib rakyat. Sebaiknya memang rakyat terpikirkan juga ada pemasukan PAD", ujarnya.
Hanya saja Erfan tidak bisa menjelaskan berapa jumlah rakyatnya yang bergentung hidup di perusahaan itu.
Masalah siapa yang salah, menurut Erfan, baik PT TLS pemilik pertama maupun PT DMP dua-duanya salah, karena kami tidak pernah diberi tahu akan adanya pengalihan tangan kepemilikan pabrik tersebut.(SYAIPUL BAKHORI)
"Kita telah mengirim surat panggilan untuk kedua kalinya terhadap Direktur Utama dan pemilik PT DMP untuk diperiksa sebagai tersangka. Dijadwalkan besok, Kamis (5/8), akan diperiksa penyidik", kata Ajun Komisaris Besar Almansyah, juru bicara Polisi Daerah Jambi, kepada wartawan, Rabu (4/8).
Penyidik Polda Jambi mengenakan kedua tersangka tersebut melanggar pasal pasal 46 (1) atau (2) Undang-Undang RI nomor 18, tentang perkebunan.
Dua hari sebelumnya delapan orang anggota Komisi III DPR RI yang dipimpin Wakil Ketuanya Azis Syamsuddin, mendatangi Mapolda Jambi dan Kejaksaan Tinggi, meminta aparat penegak hukum di daerah ini segera menuntaskan kasus tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI dalam kesempatan bertemu dengan Kapolda Jambi Brigjend R Dadang Garhadi dan jajarannya, Senin lalu, meminta aparat kepolisian setempat segera menutup pabrik pengolahan buah kelapa sawit milik PT DMP ditutup atau diberi garis polisi.
Namun kenyataannya sekarang, himbauan itu belum sempat diindahkan oleh aparat.
Selain kedua orang tersebut, Polda Jambi sebelumnya memang sudah menetapkan seorang lagi tersangka, yakni atas nama Bijak Parangin-Angin, Manajer Pabrik PT DMP. Berkas yang bersangkutan sudah dilimpahkan ke penyidik Kejaksaan Tinggi Jambi.
Anggota Komisi III DPR RI meminta aparat Polisi Daerah (Polda) Jambi agar segera memasang garis polisi dan menutup pabrik pengolahan buah kelapa sawit milik PT Delimuda Perkasa (DMP), karena jelas-jelas tidak memiliki izin operasional.
"Kami meminta Polda Jambi segera menutup dan memasang garis polisi di lokasi pabrik DMP. Kami sangat kecewa sudah empat tahun perususahaan ini beroperasi tanpa izin, tapi tidak dilakukan penindakan", kata Trimedia Panjaitan, salah seorang anggota Komisi III DPR RI, saat pertemuan dengan Kapolda Jambi dan jajarannya di Mapolda Jambi, Senin lalu.
Anggota Komisi III menduga lambannya pengusutan kasus ini akibat adanya tekanan dari Kapori Jendral Bambang Hendarso Danuri dan Staf khusus Presiden Sardan Marbun. "Kami sangat kecewa sekali dengan adanya cara penegakan hukum seperti ini", kata Ahmad Yani, salah seorang Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Bahkan Herman Heri, dalam kesempatan itu dengan tegas meminta agar Direktur Serse dan Kriminalitas Polda Jambi Komisaris Besar Dul Alim dicopot dari jabatannya, karena dianggap main-main dan tidak serius menangani kasus ini.
Dewan meminta jajaran Polda Jambi agar, segera menuntaskan dan melaporkan perkembangannya kepada pihak Komisi III sebelum 18 Agustus mendatang.
Keberadaan PT DMP sangat merugikan bagi negara dan daerah, karena diasumsikan juga telah mengemplang pajak mencapai Rp368,6 miliar lebih. Tidak itu saja, selama empat tahun beroperasi lebih lanjut dinilai Komisi III DPR RI menampung buah sawit dari warga secara ilegal.
Sementara itu Ketua Anggota Komisi III DPR RI Azis Syamsuddin meminta jajaran Polda Jambi tidak hanya melakukan pengusutan secara hukum terhadap PT DMP, tapi juga terhadap perusahaan lain yang beroperasi di daerah ini, mengingat tidak menutup kemungkinan juga melakukan hal sama.
"Selama ini kita ketahui banyak para investor bak pahlawan menanamkan modalnya, tapi dibalik itu melakukan aksi perampokan terhadap negara", katanya.
Kapolda Jambi Brigjend R Dadang Garhadi, dalam kesempatan itu berjanji jika pihaknya akan menuntaskan kasus ini sesegera mungkin. "Kami sejak awal serius melakukan pengusutan kasus DMP, tidak hanya masalah izin operasional, tapi juga dugaan pengemplangan pajak dan Amdal", ujar Kapolda.
Kapolda menyatakan siap untuk dilepas jabatannya jika dinilai main-main dalam pengusutan kasus ini. Dadang pun mengakui, jika pihaknya tidak ada tekanan dari pihak mana pun dalam mengusut kasus tersebut.
"Saya baru sebulan lebih sedikit menjabat Kapolda Jambi, tapi saya berjanji akan menuntaskan kasus ini sesuai date line ditetapkan anggota Komisi III DPR RI", kata Dadang.
Kasus ini bermula dengan adanya pengaduan dari anggota dewan Kabupaten Batanghari ke pihak Polisi Daerah Jambi beberapa waktu lalu, karena berdasarkan asumsi PT DMP yang memiliki pabrik pengolahan buah kelapa sawit di Desa Sengkatibaru, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Jambi, beroperasi tanpa izin sekitar empat tahun lalu, diduga telah mengamplang pajak sebesar Rp160 miliar.
"Berdasarkan pantauan kami PT DMP tidak pernah membayar pajak. Pada hal, kewajiban perusahaan ini untuk membayar pajak ke negara ditaksir Rp40 miliar per tahun, artinya selama empat tahun itu sudah Rp160 miliar tidak pernah disetor kepada negara", kata Ahmad Dailami, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Batanghari, kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
PT DMP mengelolah pabrik kelapa sawit berkafasitas 80 ton per jam sejak empat tahun lalu, setelah 15 Desember 2006, membeli pabrik tersebut dari PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS).
Anehnya, perusahaan itu tidak memiliki kebun sendiri. Dalam pengoperasiannya sehari-hari perusahaan ini menampung buah sawit dari para petani sawit yang berada di sekitar kawasan perusahaan.
"Ini saja sudah menyalahi aturan, karena setiap perusahaan membangun pabrik harus memiliki lahan kebun sendiri minimal 2.000 hektare", kata Abdul Fatta, Ketua DPRD Kabupaten Batanghari.
"Saya heran kok sudah beroperasi empat tahun tanpa izin pihak pemerintah daerah tidak melakukan tindakan. Ada apa ini", kata Fattah kepada wartawan, sembari bertanya.
PT DMP tidak memiliki izin pengoperasian pabrik, karena memang pemerintah daerah setempat tidak mau mengeluarkan izin operasional, mengingat perusahaan ini tidak memiliki kebun sendiri.
"Memang kami tidak mau memberikan izin operasional kepada PT DMP, karena alasan perusahaan tidak memiliki kabun sendiri sesuai dengan aturan", kata Erfan, Sekeretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Batanghari saat dikonfirmasi Tempo melalui telpon selulernya.
Dikatan Erfan, pihaknya tahun 2008 telah memerintahkan pabrik itu ditutup, tapi dibuka kembali.Pertimbangannya, karena banyak petani sawit hanya bisa menjual hasil panen mereka kepada PT DMP.
"Saya akui memamng perusahaan tidak ada memberi sepeser pun PAD ke pemerintah daerah, tapi saya pikir tidak jadi masalah mengingat kami lebih memikirkan nasib rakyat. Sebaiknya memang rakyat terpikirkan juga ada pemasukan PAD", ujarnya.
Hanya saja Erfan tidak bisa menjelaskan berapa jumlah rakyatnya yang bergentung hidup di perusahaan itu.
Masalah siapa yang salah, menurut Erfan, baik PT TLS pemilik pertama maupun PT DMP dua-duanya salah, karena kami tidak pernah diberi tahu akan adanya pengalihan tangan kepemilikan pabrik tersebut.(SYAIPUL BAKHORI)