SURABAYA, KABARWARTA - Lebih dari satu dasawarsa Agama Khonghucu diakui di Indonesia, sejak Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi orang nomor satu, dan ia mencabut PP Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa. Namun, hingga kini banyak hak-hak sipil warga Khonghucu yang terabaikan. Salah satunya adalah hak pendidikan Agama Khonghucu bagi siswa-siswi beragama Khonghucu.
Tampilkan postingan dengan label Kelenteng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kelenteng. Tampilkan semua postingan
29 Nov 2012
5 Nov 2012
Kala Para Dewa Bertemu di Petak Sembilan
KOMPAS.com - Sembilan puluh dewa berkumpul di Petak Sembilan, Jakarta. Mereka lalu diarak sepanjang jalan raya. Inilah tradisi lama etnis Tionghoa yang dihidupkan kembali dalam konteks Indonesia hari ini.
Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada, Jakarta, menjadi lautan manusia, Minggu (21/10/2012). Ribuan orang bersukacita mengarak para dewa yang turun dari berbagai penjuru Indonesia disertai tarian barongsai dan ular naga. Inilah kirab ritual yang digelar Kelenteng Fat Cu Kung untuk merayakan ulang tahun (sejit) dewa tolak bala, Fat Cu Kung.
Acara sejit disertai arak-arakan dewa seperti ini belakangan marak di sejumlah daerah. Eddy Loho (58), pemimpin spiritual Kelenteng Tay Seng, Kota Manado, Sulawesi Utara, mengatakan, sepanjang tahun 2011-2012, dia telah menghadiri 15 kirab di sejumlah daerah, mulai Gorontalo, Makassar, Bojonegoro, Nganjuk, Surabaya, Lasem (Rembang), sampai Jakarta. Saking banyaknya undangan kirab, Loho dan rombongan belum sempat pulang ke Manado sejak 3 Oktober lalu.
"Kami bergerak dari satu kelenteng ke kelenteng lain untuk ikut sejit dan kirab. Setelah hadir di kirab Fat Cu Kung, (kami) baru bisa pulang ke Manado," ujar Loho yang rombongannya terdiri atas 40 orang.
Lima tahun terakhir, kelenteng-kelenteng di Indonesia seolah berlomba untuk mengadakan kirab. ”Bisa dikatakan tahun ini terjadi ledakan sejit yang disertai kirab ritual,” kata Suhendar dari Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Kait, Banten.
Kelenteng Tjo Soe Kong akan menggelar sejit dan kirab ritual pada akhir Desember nanti. "Ini adalah kirab pertama yang pernah kami gelar. Kami mengundang 200-an kelenteng di seluruh Indonesia," ujar Suhendar yang dipercaya sebagai ketua panitia.
Selasa (30/10/2012), persiapan acara besar itu telah dilakukan. Kelenteng bertahun 1959 yang terletak sekitar 200 meter dari laut di Teluk Jakarta itu bersolek sebelum menyambut kedatangan ribuan tamu. Kelenteng dipoles, dicat, dan dirapikan.
Korban stigma
Selama Orde Baru berkuasa, komunitas etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan kebudayaan mereka. ”Jangankan bikin kirab, pasang hio di depan rumah saja dilarang,” ujar Tjia Boen Kiat, pemimpin Kelenteng Fat Cu Kung.
JJ Rizal dari Komunitas Bambu mengatakan, Orde Baru melakukan politik eksorsisme, yakni membangun stigma buruk tentang ekspresi keagamaan dan tradisi etnis Tionghoa. ”Secara sistematis membangun stigma bahwa segala sesuatu tentang China itu jahat dan tidak membaur. Faktanya di Nusantara budaya China berakulturasi secara luar biasa,” kata Rizal.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melepas kekangan itu, etnis Tionghoa pun bebas mengekspresikan tradisi dan kebudayaan mereka, termasuk menggelar kirab budaya. Dengan kirab, kata Loho, kelenteng menjadi semarak. ”Dewa-dewa yang selama bertahun-tahun dibiarkan ’tidur’ di kelenteng dibangunkan kembali,” ujar Loho.
Kirab juga menjadi cara efektif untuk menyedot umat. Kelenteng yang sering menggelar kirab akan populer dan umatnya bertambah. Loho mencontohkan, ada sebuah kelenteng di Nganjuk, Jawa Timur, yang umatnya hanya 15 orang. Setelah menggelar kirab, umat mereka bertambah menjadi 100 orang.
Usaha ini pula yang sedang ditempuh Suhendar. Dia mengatakan, sejak tahun 1990-an sampai pertengahan 2000, popularitas Kelenteng Tjo Soe Kong sempat tenggelam.
”Lewat acara kirab, kami ingin membangkitkan lagi masa-masa kejayaan kelenteng yang pernah menjadi salah satu kelenteng terbesar di Banten,” katanya.
Suhendar menambahkan, kelenteng-kelenteng kecil yang bangunannya masih mengontrak pun berani menggelar kirab untuk tujuan serupa. ”Kalau kelenteng populer, umat yang datang pasti banyak dan sumbangan yang masuk ke kelenteng pasti bertambah dan bisa menggelar acara-acara. Ini sudah jadi tren,” kata Suhendar.
Meski begitu, tegas Suhendar, kirab tidak bisa sembarangan digelar. Mereka harus sembahyang dulu kepada dewa. ”Jika dewanya mau diulangtahuni dan dikirab, kami jalankan. Kalau dewa tidak mau dikirab, ya enggak bisa,” katanya.
Peziarah
Seiring maraknya kirab, bermunculan pula komunitas umat kelenteng yang rajin menghadiri acara kirab dewa di sejumlah kota. Di antara mereka adalah Iing (53) asal Cirebon, Jawa Barat. Setahun terakhir, Iing dan keluarga setidaknya menghadiri enam acara kirab di Tegal, Semarang, Tuban, Cilacap, dan Madura. ”Pokoknya kalau ada dana, kami berangkat pakai bus,” kata Iing.
Iing hadir di acara kirab Dewa Fat Cu Kung di Petak Sembilan bersama dua anaknya dan puluhan umat Kelenteng Welas Asih, Cirebon. Setelah mengikuti kirab, Iing dan rombongan berniat belanja pakaian di Tanah Abang, Jakarta.
Yuli (63) asal Kalideres juga rajin mengikuti kirab hingga keluar wilayah Jakarta. Tujuannya satu, mengalap berkah dari para dewa yang hadir. ”Mumpung banyak dewa berkumpul di acara sejit dan kirab, saya meminta berkah. Bayangkan, kalau bukan di acara seperti ini, saya harus keliling ke banyak kelenteng untuk bertemu dewa yang berbeda-beda,” katanya.
Setiap kelenteng biasanya memang memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti dewa pelindung, tolak bala, penyembuh, pemberi keberuntungan, dan pemberi rezeki. Bahkan, beberapa kelenteng memiliki dewa lokal yang barangkali tidak ada di kelenteng mana pun di Indonesia atau dunia. Di Kelenteng Tjo Soe Kong, misalnya, ada Dewa Mbah Rahman dan Dewi Neng. Mereka adalah dua tokoh lokal yang dinilai telah memiliki karma baik kepada masyarakat sehingga pantas didewakan.
Pada akhirnya, menurut Rizal, kirab ritual adalah bagian dari ekspresi budaya etnis Tionghoa. ”Tradisi semacam ini ibarat lorong waktu yang membuat orang atau sebuah komunitas ada,” katanya.
Itulah yang dirasakan Rudi (25). Sebagai peranakan Tionghoa, dia tidak mengenal budaya dan tradisi etnis Tionghoa. ”Kirab dewa baru saya alami sekarang. Dulu paling dengar ceritanya doang dari orang-orang tua,” ujar Rudi, generasi peranakan Tionghoa yang tidak lagi mengenal nama lahir China.
Hal yang sama dirasakan Yuli (63). Waktu kecil dia sering diajak ikut kirab oleh orangtua. Setelah Soeharto berkuasa, tradisi kirab dewa tidak lagi dia alami. ”Kirab hampir terhapus dalam ingatan saya. Untung sekarang boleh diadakan lagi.”
Bagi Rizal, pengungkapan ekspresi tradisi budaya berbagai etnik di Nusantara pada akhirnya akan memperkuat keindonesiaan kita. ”Setiap orang Indonesia bisa saling belajar tentang akar budaya yang lain, belajar tentang orang yang hidup (berdampingan) bersama kita,” katanya.(Budi Suwarna & Aryo Wisanggeni)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/07590628/
Acara sejit disertai arak-arakan dewa seperti ini belakangan marak di sejumlah daerah. Eddy Loho (58), pemimpin spiritual Kelenteng Tay Seng, Kota Manado, Sulawesi Utara, mengatakan, sepanjang tahun 2011-2012, dia telah menghadiri 15 kirab di sejumlah daerah, mulai Gorontalo, Makassar, Bojonegoro, Nganjuk, Surabaya, Lasem (Rembang), sampai Jakarta. Saking banyaknya undangan kirab, Loho dan rombongan belum sempat pulang ke Manado sejak 3 Oktober lalu.
"Kami bergerak dari satu kelenteng ke kelenteng lain untuk ikut sejit dan kirab. Setelah hadir di kirab Fat Cu Kung, (kami) baru bisa pulang ke Manado," ujar Loho yang rombongannya terdiri atas 40 orang.
Lima tahun terakhir, kelenteng-kelenteng di Indonesia seolah berlomba untuk mengadakan kirab. ”Bisa dikatakan tahun ini terjadi ledakan sejit yang disertai kirab ritual,” kata Suhendar dari Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Kait, Banten.
Kelenteng Tjo Soe Kong akan menggelar sejit dan kirab ritual pada akhir Desember nanti. "Ini adalah kirab pertama yang pernah kami gelar. Kami mengundang 200-an kelenteng di seluruh Indonesia," ujar Suhendar yang dipercaya sebagai ketua panitia.
Selasa (30/10/2012), persiapan acara besar itu telah dilakukan. Kelenteng bertahun 1959 yang terletak sekitar 200 meter dari laut di Teluk Jakarta itu bersolek sebelum menyambut kedatangan ribuan tamu. Kelenteng dipoles, dicat, dan dirapikan.
Korban stigma
Selama Orde Baru berkuasa, komunitas etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan kebudayaan mereka. ”Jangankan bikin kirab, pasang hio di depan rumah saja dilarang,” ujar Tjia Boen Kiat, pemimpin Kelenteng Fat Cu Kung.
JJ Rizal dari Komunitas Bambu mengatakan, Orde Baru melakukan politik eksorsisme, yakni membangun stigma buruk tentang ekspresi keagamaan dan tradisi etnis Tionghoa. ”Secara sistematis membangun stigma bahwa segala sesuatu tentang China itu jahat dan tidak membaur. Faktanya di Nusantara budaya China berakulturasi secara luar biasa,” kata Rizal.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melepas kekangan itu, etnis Tionghoa pun bebas mengekspresikan tradisi dan kebudayaan mereka, termasuk menggelar kirab budaya. Dengan kirab, kata Loho, kelenteng menjadi semarak. ”Dewa-dewa yang selama bertahun-tahun dibiarkan ’tidur’ di kelenteng dibangunkan kembali,” ujar Loho.
Kirab juga menjadi cara efektif untuk menyedot umat. Kelenteng yang sering menggelar kirab akan populer dan umatnya bertambah. Loho mencontohkan, ada sebuah kelenteng di Nganjuk, Jawa Timur, yang umatnya hanya 15 orang. Setelah menggelar kirab, umat mereka bertambah menjadi 100 orang.
Usaha ini pula yang sedang ditempuh Suhendar. Dia mengatakan, sejak tahun 1990-an sampai pertengahan 2000, popularitas Kelenteng Tjo Soe Kong sempat tenggelam.
”Lewat acara kirab, kami ingin membangkitkan lagi masa-masa kejayaan kelenteng yang pernah menjadi salah satu kelenteng terbesar di Banten,” katanya.
Suhendar menambahkan, kelenteng-kelenteng kecil yang bangunannya masih mengontrak pun berani menggelar kirab untuk tujuan serupa. ”Kalau kelenteng populer, umat yang datang pasti banyak dan sumbangan yang masuk ke kelenteng pasti bertambah dan bisa menggelar acara-acara. Ini sudah jadi tren,” kata Suhendar.
Meski begitu, tegas Suhendar, kirab tidak bisa sembarangan digelar. Mereka harus sembahyang dulu kepada dewa. ”Jika dewanya mau diulangtahuni dan dikirab, kami jalankan. Kalau dewa tidak mau dikirab, ya enggak bisa,” katanya.
Peziarah
Seiring maraknya kirab, bermunculan pula komunitas umat kelenteng yang rajin menghadiri acara kirab dewa di sejumlah kota. Di antara mereka adalah Iing (53) asal Cirebon, Jawa Barat. Setahun terakhir, Iing dan keluarga setidaknya menghadiri enam acara kirab di Tegal, Semarang, Tuban, Cilacap, dan Madura. ”Pokoknya kalau ada dana, kami berangkat pakai bus,” kata Iing.
Iing hadir di acara kirab Dewa Fat Cu Kung di Petak Sembilan bersama dua anaknya dan puluhan umat Kelenteng Welas Asih, Cirebon. Setelah mengikuti kirab, Iing dan rombongan berniat belanja pakaian di Tanah Abang, Jakarta.
Yuli (63) asal Kalideres juga rajin mengikuti kirab hingga keluar wilayah Jakarta. Tujuannya satu, mengalap berkah dari para dewa yang hadir. ”Mumpung banyak dewa berkumpul di acara sejit dan kirab, saya meminta berkah. Bayangkan, kalau bukan di acara seperti ini, saya harus keliling ke banyak kelenteng untuk bertemu dewa yang berbeda-beda,” katanya.
Setiap kelenteng biasanya memang memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti dewa pelindung, tolak bala, penyembuh, pemberi keberuntungan, dan pemberi rezeki. Bahkan, beberapa kelenteng memiliki dewa lokal yang barangkali tidak ada di kelenteng mana pun di Indonesia atau dunia. Di Kelenteng Tjo Soe Kong, misalnya, ada Dewa Mbah Rahman dan Dewi Neng. Mereka adalah dua tokoh lokal yang dinilai telah memiliki karma baik kepada masyarakat sehingga pantas didewakan.
Pada akhirnya, menurut Rizal, kirab ritual adalah bagian dari ekspresi budaya etnis Tionghoa. ”Tradisi semacam ini ibarat lorong waktu yang membuat orang atau sebuah komunitas ada,” katanya.
Itulah yang dirasakan Rudi (25). Sebagai peranakan Tionghoa, dia tidak mengenal budaya dan tradisi etnis Tionghoa. ”Kirab dewa baru saya alami sekarang. Dulu paling dengar ceritanya doang dari orang-orang tua,” ujar Rudi, generasi peranakan Tionghoa yang tidak lagi mengenal nama lahir China.
Hal yang sama dirasakan Yuli (63). Waktu kecil dia sering diajak ikut kirab oleh orangtua. Setelah Soeharto berkuasa, tradisi kirab dewa tidak lagi dia alami. ”Kirab hampir terhapus dalam ingatan saya. Untung sekarang boleh diadakan lagi.”
Bagi Rizal, pengungkapan ekspresi tradisi budaya berbagai etnik di Nusantara pada akhirnya akan memperkuat keindonesiaan kita. ”Setiap orang Indonesia bisa saling belajar tentang akar budaya yang lain, belajar tentang orang yang hidup (berdampingan) bersama kita,” katanya.(Budi Suwarna & Aryo Wisanggeni)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/07590628/
"Tang Shen", Medium Para Dewa
KOMPAS.com - Minggu (21/10/2012) menjelang petang, Teddy Onibala kembali ke alam sadar. Ia meneguk air mineral dan tersenyum menerima jabat tangan banyak orang. Minggu siang, lidahnya tersayat-sayat pedang di tangannya sendiri, darahnya mengucur menjadi tinta yang dipakainya untuk hu (kertas doa berwarna kuning), punggungnya pun luka oleh tebasan pedang. Pedangnya sendiri....
"Lukanya masih membekas sedikit, tetapi memang tak terasa sakit," ujar Onibala, sang tang shen (orang yang menyediakan tubuhnya menjadi perantara dewa) dari Kelenteng Tay Seng Bio, Manado, Sulawesi Utara. "Sungguh, saya tadi tidak tahu apa saja yang terjadi," ujarnya serius.
Pipi Santje, tang shen lain dari Tay Seng Bio yang pada Minggu siang dikoyak-koyak kawat baja yang keluar-masuk wajahnya juga tersenyum saja ditanyai soal ritual tang shen yang dijalaninya. Seperti Onibala, wajahnya sumringah tanpa sedikit pun noda luka, hanya keringat yang terus mengucur. Meski memukau banyak orang, tak ada kesan jumawa dari mereka.
Menjadi tang shen memang bukan pekerjaan seorang jumawa. Onibala dan Santje justru harus prihatin untuk menyiapkan tubuh mereka disinggahi dewa demi mengangkat karma buruk manusia dan semesta.
"Kami berpantang selama 49 hari, berdiam di kamar, hanya membaca kitab-kitab dan merenung. Makan, kopi, juga rokok, diantarkan ke bilik kami di kelenteng. Jadi selama menyiapkan diri kami tak pulang ke rumah," kata Onibala.
Eddy Loho, pemimpin Kelenteng Tay Seng, menuturkan kerelaan untuk mengasingkan diri dan menjalani pantangan itu penting untuk membersihkan diri para tang shen.
"Menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk berhubungan badan dengan istri, bahkan pulang ke rumah, harus dilakukan agar pikiran para tang shen jernih. Menjadi medium pengorbanan para dewa bukan hal yang ringan, dan tang shen bukan atraksi gagah-gagahan," kata Loho.
Tak semua orang bisa begitu saja menjadi tang shen. "Menjadi tang shen harus sepersetujuan para dewa. Jika tidak, tidak akan berhasil. Hanya mereka yang terpilih yang mampu menjalaninya," kata Loho meyakinkan.
Onibala, misalnya, tidak pernah menduga dirinya bisa menjadi tang shen Kelenteng Tay Seng Bio. "Orangtua saya bukan seorang tang shen, tetapi saya terpilih menjadi tang shen. Ternyata, dalam garis keturunan saya memang ada seorang kakek yang menjadi tang shen. Namun, siapa yang terpilih menjadi tang shen memang tak bisa diduga,” kata Onibala.
Dahulu, tang shen merupakan ritual dan tradisi yang umum muncul dalam berbagai perayaan keagamaan maupun tradisi peranakan Tionghoa. Dulu hampir setiap kelenteng memiliki tang shen. Namun, pelarangan tradisi dan ritual keagamaan peranakan Tionghoa selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membuat tradisi itu terkikis.
"Kami di Manado beruntung karena selama Orde Baru situasi keamanan di Manado memungkinkan kami terus merayakan berbagai peristiwa keagamaan ataupun tradisi peranakan Tionghoa di Manado," ujar Loho. (ROW/BSW)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/11141966/
Pipi Santje, tang shen lain dari Tay Seng Bio yang pada Minggu siang dikoyak-koyak kawat baja yang keluar-masuk wajahnya juga tersenyum saja ditanyai soal ritual tang shen yang dijalaninya. Seperti Onibala, wajahnya sumringah tanpa sedikit pun noda luka, hanya keringat yang terus mengucur. Meski memukau banyak orang, tak ada kesan jumawa dari mereka.
Menjadi tang shen memang bukan pekerjaan seorang jumawa. Onibala dan Santje justru harus prihatin untuk menyiapkan tubuh mereka disinggahi dewa demi mengangkat karma buruk manusia dan semesta.
"Kami berpantang selama 49 hari, berdiam di kamar, hanya membaca kitab-kitab dan merenung. Makan, kopi, juga rokok, diantarkan ke bilik kami di kelenteng. Jadi selama menyiapkan diri kami tak pulang ke rumah," kata Onibala.
Eddy Loho, pemimpin Kelenteng Tay Seng, menuturkan kerelaan untuk mengasingkan diri dan menjalani pantangan itu penting untuk membersihkan diri para tang shen.
"Menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk berhubungan badan dengan istri, bahkan pulang ke rumah, harus dilakukan agar pikiran para tang shen jernih. Menjadi medium pengorbanan para dewa bukan hal yang ringan, dan tang shen bukan atraksi gagah-gagahan," kata Loho.
Tak semua orang bisa begitu saja menjadi tang shen. "Menjadi tang shen harus sepersetujuan para dewa. Jika tidak, tidak akan berhasil. Hanya mereka yang terpilih yang mampu menjalaninya," kata Loho meyakinkan.
Onibala, misalnya, tidak pernah menduga dirinya bisa menjadi tang shen Kelenteng Tay Seng Bio. "Orangtua saya bukan seorang tang shen, tetapi saya terpilih menjadi tang shen. Ternyata, dalam garis keturunan saya memang ada seorang kakek yang menjadi tang shen. Namun, siapa yang terpilih menjadi tang shen memang tak bisa diduga,” kata Onibala.
Dahulu, tang shen merupakan ritual dan tradisi yang umum muncul dalam berbagai perayaan keagamaan maupun tradisi peranakan Tionghoa. Dulu hampir setiap kelenteng memiliki tang shen. Namun, pelarangan tradisi dan ritual keagamaan peranakan Tionghoa selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membuat tradisi itu terkikis.
"Kami di Manado beruntung karena selama Orde Baru situasi keamanan di Manado memungkinkan kami terus merayakan berbagai peristiwa keagamaan ataupun tradisi peranakan Tionghoa di Manado," ujar Loho. (ROW/BSW)
http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/11141966/
3 Nov 2012
Silaturahmi Antar Pengurus Kelenteng Jambi dan Palembang
JAMBI - Untuk menyambung tali silaturahmi antar perkumpulan Kelenteng yang tergabung dalam Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Provinsi Jambi dan Matakin Kota Jambi berkunjung ke Kelenteng Hok Liong Tong, di Jalan Sriwijaya Negara, No. 1771, Rt. 23, Rw. 08, Bukit Besar, Palembang (Sumsel).
Kunjungan ini dipimpin oleh Wakil Ketua Matakin Provinsi Jambi, Alex Sujanto dan didampingi oleh beberapa fungsional dari Matakin Provinsi Jambi dan Kota, diantaranya Wakil Ketua Bidang Sosial dan Humas, Berlianta Eliamsya (Lie Tjin Hai), Ketua Bidang Rohaniawan, The Lien Teng, Wakil Ketua Matakin Kota Jambi, Huwanda Desswandhy, Wakil Sekretaris, Handoko Thetro, serta ketua perkumpulan Ankhui Jambi, Tan Ka Sui (Kasuri) ikut dalam rombongan Matakin Jambi.
Tujuan Matakin Provinsi Jambi ke Palembang adalah sembahyang dan silaturahmi dengan pengurus Kelenteng Hok Liong Tong. Kehadiran pengurus Matakin Jambi di Palembang telah ditunggu oleh pengurus Hok Liong Tong sejak pukul 10.00 pagi.
Selain tujuan sembahyang di Hok Liong Tong, rombongan Matakin Jambi juga mensosialisakan keberadaan agama Khonghucu yang resmi menjadi salah satu agama di Indonesia, keberadaan Kelenteng adalah tempat ibadah umat Khonghucu, juga sebagai tempat pendidikan keagamaan (Peraturan Pemerintah Repubrik Indonesia, Nomor 55 Tahun 2007, tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan).
Ujar, Wakil Ketua Matakin Jambi, Alex Sujanto, “Tujuan rombongan Matakin Jambi ke Palembang (sumsel) selain sembahyang, kita juga mensosialisasikan keberadaan agama Khonghucu di Kelenteng Hok Liong Tong.” (Romy)
5 Okt 2012
Banyak Warga Tionghoa Yang Agama Ganda
Banyak warga tionghoa di tanah air yang tidak tahu agama apa yang mereka peluk, mereka dapat kita temui di setiap kelenteng maupun vihara yang sedang mengadakan kegiatan, penulis pernah menemui beberapa warga yang ditanya tentang agamanya, mereka pada mengatakan beragama Buddha, namun mereka tidak menyadari bahwa mereka sedangkan mengikuti sembahyang ulang tahun para suci (shenming) di kelenteng-kelenteng, yang tak kalah hebat adalah para pemberi ceramah, menyatakan bahwa umat Buddha boleh sembahyang di kelenteng, demikian juga sebaliknya umat Khonghucu juga boleh sembahyang ke Vihara (istilah agama tridarma).
Secara jujur kedua agama berbeda sangat jauh, Khonghucu berasal dari Tiongkok, sedangkan Buddha berasal dari India, bagaimana mau dikatakan sama.! Penulis mengutip beberapa pernyataan dari ANGGIE Tjetje tentang kerancuan nama Tridharma di Indonesia. Menurutnya, tidak pernah ada sebenarnya penyebutan dan pengakuan untuk agama Tridharma. Pemahaman masyarakat Indonesia perihal agama Tridharma ini, menurut Aggie Tjeje adalah sebuah kecelakaan”.
Menurut Aggie, akibat kecelakaan ini hingga sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa tiga agama tadi adalah sama. Padahal, lanjutnya, ketiganya tidak pernah bersatu kecuali menyoal falsafahnya.
“Umat ketiga agama ini sebenarnya beragama China. Tapi karena kesalahpahaman akhirnya muncul trend orang-orang ke Buddha ayo, ke Khonghucu ayo, dan ke yang lainnya juga ayo. Padahal tidak pernah ada gabungan tiga agama itu. Semuanya muncul 2500 tahun lalu, sementara orang China sudah beragama sejak 7000 tahun lalu,“ paparnya.
Untuk di Indonesia sendiri, kata Aggie, karena waktu itu hanya Buddha yang diakui, maka orang Tionghoa kebanyakan akhirnya memakai topeng Buddha di KTP, meskipun agama yang dianutnya adalah Khonghucu.
Oleh karena itu, para petinggi dari agama Buddha maupun Khonghucu meminta pemerintah memperjelaskan status agama Tridarma, sehingga masyarakat keturunan tionghoa bisa memilih agama yang diyakininya, diantaranya agama Buddah maupun agama Khonghucu sebagai pegangan keyakinannya.
Selain itu, berdampak terhadap rekan-rekan wartawan yang membuat berita, salah satunya dalam penulisan kelenteng alias vihara, bahkan sering juga kita temukan tempat ibadah kelenteng terdapat tiga para suci digabungkan dalam satu altar.
Semua agama baik untuk pegangan hidup, namun agama dilarang untuk digabungan-gabungkan, (Romy)
Menurut Aggie, akibat kecelakaan ini hingga sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa tiga agama tadi adalah sama. Padahal, lanjutnya, ketiganya tidak pernah bersatu kecuali menyoal falsafahnya.
“Umat ketiga agama ini sebenarnya beragama China. Tapi karena kesalahpahaman akhirnya muncul trend orang-orang ke Buddha ayo, ke Khonghucu ayo, dan ke yang lainnya juga ayo. Padahal tidak pernah ada gabungan tiga agama itu. Semuanya muncul 2500 tahun lalu, sementara orang China sudah beragama sejak 7000 tahun lalu,“ paparnya.
Untuk di Indonesia sendiri, kata Aggie, karena waktu itu hanya Buddha yang diakui, maka orang Tionghoa kebanyakan akhirnya memakai topeng Buddha di KTP, meskipun agama yang dianutnya adalah Khonghucu.
Oleh karena itu, para petinggi dari agama Buddha maupun Khonghucu meminta pemerintah memperjelaskan status agama Tridarma, sehingga masyarakat keturunan tionghoa bisa memilih agama yang diyakininya, diantaranya agama Buddah maupun agama Khonghucu sebagai pegangan keyakinannya.
Selain itu, berdampak terhadap rekan-rekan wartawan yang membuat berita, salah satunya dalam penulisan kelenteng alias vihara, bahkan sering juga kita temukan tempat ibadah kelenteng terdapat tiga para suci digabungkan dalam satu altar.
Semua agama baik untuk pegangan hidup, namun agama dilarang untuk digabungan-gabungkan, (Romy)
4 Okt 2012
Shejit Kun Ce Tua Lang Kong Di Hadiri Staf Bimas Agama Khonghucu Kemenag RI
JAMBI – Kamis pagi, 4 Oktober 2012 (imlek pwe gwe cap kao) ratusan umat Khonghucu hari ini menghadiri Kelenteng Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Lam Po Tong yang beralamat di Jalan Perdana Raya (belakang kantor DPRD Kota Jambi) Rt. 33, No. 19, Kelurahan Paal V, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi. Ratusan umat Khonghucu mengikuti prosesi perayaan Shejit “Kun Che Tua Lang Kong.” mereka datang untuk memberikan hormat atas sejitnya sin beng.
Umat Khonghucu Jambi, memperingati shejit (ulang tahun) sebagai penghormatan kepada leluhur mereka, ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap umat Khonghucu. Berbagai cara dan jenis ritual yang digelar, tetapi tetap memiliki satu tujuan yaitu untuk menghormati para suci shinming dan leluhur.
Seperti ritual Shejit “Kun Che Tua Lang Kong” dan Kho Kun yang digelar oleh kelenteng MAKIN Lam Po Tong kali ini dihadiri utusan Bimas Agama Khonghucu Kementerian Agama RI, Surahman dan Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Darman Wijaya, Wakil ketua Matakin, Alex Sujanto, Wakil ketua Matakin Kota Jambi, Huwanda Desswandhy, selain itu tampak hadir para pengurus Makin Kota Jambi dan Makin Kabupaten Tanjab Barat beserta ketua Perempuan Khonghucu (perkhin).
Menurut ketua Makin Lam Po Tong, Chu Harto, bahwa pihaknya memang sengaja menggelar dua acara sekaligus, agar momen tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk umat untuk berdoa dan memohon keselamatan dan perlindungan dari sin beng maupun para leluhur. “Kepada shinming, kita memohon keselamatan dari berbagai bencana sedangkan kepada leluhur merupakan tanda penghormatan kita,” ujarnya.
Kelenteng Makin Nam Po Tong, yang dibangun pada tahun 2005 ini, belum 100% selesai, “Masih ada yang mesti kita selesainya, diantaranya bagian bubungan dan kim tan (tempat bakar kertas sembahyang).” Kata Chu Harto. (Romy)
Seperti ritual Shejit “Kun Che Tua Lang Kong” dan Kho Kun yang digelar oleh kelenteng MAKIN Lam Po Tong kali ini dihadiri utusan Bimas Agama Khonghucu Kementerian Agama RI, Surahman dan Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Darman Wijaya, Wakil ketua Matakin, Alex Sujanto, Wakil ketua Matakin Kota Jambi, Huwanda Desswandhy, selain itu tampak hadir para pengurus Makin Kota Jambi dan Makin Kabupaten Tanjab Barat beserta ketua Perempuan Khonghucu (perkhin).
Menurut ketua Makin Lam Po Tong, Chu Harto, bahwa pihaknya memang sengaja menggelar dua acara sekaligus, agar momen tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk umat untuk berdoa dan memohon keselamatan dan perlindungan dari sin beng maupun para leluhur. “Kepada shinming, kita memohon keselamatan dari berbagai bencana sedangkan kepada leluhur merupakan tanda penghormatan kita,” ujarnya.
Kelenteng Makin Nam Po Tong, yang dibangun pada tahun 2005 ini, belum 100% selesai, “Masih ada yang mesti kita selesainya, diantaranya bagian bubungan dan kim tan (tempat bakar kertas sembahyang).” Kata Chu Harto. (Romy)
30 Sep 2012
Ribuan Umat Khonghucu Jambi Sembahyang Tiong Ciu Cue
JAMBI – Sampai sekarang masih banyak tradisi yang dipertahankan masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Khonghucu diseluruh dunia. Salah satu diantaranya yaitu tradisi pesta kue bulan (Tiong Ciu Cue) di bulan purnama yang biasa digelar setiap tanggal 15 bulan delapan Imlek (Pe Gwee Cap Go) dengan mengelar sembahyang kue bulan dan juga tidak ketinggalan pesta kembang api dimalam harinya.
Perayaan Tiong Ciu Cue tahun ini yang jatuh pada tangga 30 September 2012 (Pe Gwee Cap Go Imlek), dirayakan di berbagai negara dan daerah di tanah air Indonesia, termasuk di Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) kelenteng “Hok Kheng Tong”, yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Lorong Koni IV, Kelurahan Talangjauh, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi.
Selain menyambut perayaan Kue Bulan (Tiong Ciu Phia), Makin Kelenteng Hok Kheng Tong juga melakukan kho khun (sembahyang persembahan) yang dilakukan setiap tahun, “Tiap tahun kita rayakan sembahyang Tiong Ciu Cue sekaligus melakukan kho khun“ ujar pengurus Makin Hok Kheng Tong.
Sehari sebelumnya prosesi akbar perayaan Tiong Ciu Cue dilakukan, terlebih dahulu para pengurus Makin Kelenteng Hok Kheng Tong melakukan sembahyang didepan altar Tien (Tuhan), adapun maksud sebahyang tersebut adalah memberitahu sekaligus memohon ijin kepada sang pencipta alam semesta, bahwa umatnya di bumi hendak merayakan Tiong Ciu Cue dengan menyembahyangi Tai Im Niu Niu (Dewi Bulan) dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban. Prosesi upacara dipimpin langsung Rohaniawan dari Matakin Provinsi Jambi, The Lien Teng.
Menurut Ramli (Lie Tiong Lam) salah satu sesepuh Makin Hok Kheng Tong, harapan kita kedepan semoga Tien (Tuhan) dapat memberikan perlindungan kepada bangsa dan negara, “Kita memohon kepada Tien (Tuhan) agar negara dapat terhindar dari segala bencana, masyarakat bisa melakukan aktifitas sehari dan warga aman sentosa, keluarga harmonis”.
Tampak hadir dalam acara akbar tersebut diantaranya, Ketua MAKIN Sai Che Tien, Darmadi Tekun (The Kien Peng), Ketua MAKIN Hok Sin Tong, Darman Wijaya (Huang Chun Hui), Ketua MAKIN Gi Hong Tong, Alex Suyanto (Oh Giok Cie), Ketua Kelenteng Sam Leng Keng, Rudy Lidra, Ketua Hok Liong Sai, Herman Suprato (Chen He Siang) serta beberapa pengusaha di Jambi.
Legenda Kue Bulan
Kue Bulan (Tiong Ciu Phia) adalah salah satu tradisi dikalangan masyarakat Tionghoa yang masih bertahan, perayaan Kue Bulan (Tiong Ciu Phia) yang dirayakan setiap tanggal lima belas bulan kedelapan Imlek. Tradisi tersebut juga dikenal sebagai Festival Pertengahan Musim Gugur. Masyarakat Tionghoa merayakaan "zhong qiu jie" ketika bulan berada pada puncak kecerahannya disepanjang tahun. Menurut legenda, Dewi Bulan yang tinggal di istana kaca, keluar untuk menari dibawah bayang-bayangan bulan. Kisahnya berawal ketika pada suatu masa ada sepuluh matahari bersinar bersamaan diatas langit.
Sejarah Kue Bulan atau Tiong Chiu Pia
Perkataan Tiong Chiu berasal dari kata Tiong yang arti tengah dan Chiu berarti musim rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara harafiah berarti pertengahan musim rontok.
Perayaan sembahyang kue bulan dirayakan setiap tahun tepatnya tanggal 15 bulan delapan kalender Imlek, untuk tahun ini memasuki tahun Imlek ke 2564, yang jatuh pada tanggal 30 September 2012. Pada hari itulah bulan paling terang sepanjang tahun, karena hari itu jarak bulan dengan bumi dan bentuk kue yang bulat melambangkan terangnya bulan menyinari bumi. (romy)
http://ayojambi.com/
http://makinjambi.com/
http://tradisi-jambi.blogspot.com/
http://multi-nusantara.blogspot.com/
http://komunitas-jambi.blogspot.com/
http://media-fotografers.blogspot.com/
http://makin-jambi.blogspot.com/
Selain menyambut perayaan Kue Bulan (Tiong Ciu Phia), Makin Kelenteng Hok Kheng Tong juga melakukan kho khun (sembahyang persembahan) yang dilakukan setiap tahun, “Tiap tahun kita rayakan sembahyang Tiong Ciu Cue sekaligus melakukan kho khun“ ujar pengurus Makin Hok Kheng Tong.
Sehari sebelumnya prosesi akbar perayaan Tiong Ciu Cue dilakukan, terlebih dahulu para pengurus Makin Kelenteng Hok Kheng Tong melakukan sembahyang didepan altar Tien (Tuhan), adapun maksud sebahyang tersebut adalah memberitahu sekaligus memohon ijin kepada sang pencipta alam semesta, bahwa umatnya di bumi hendak merayakan Tiong Ciu Cue dengan menyembahyangi Tai Im Niu Niu (Dewi Bulan) dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban. Prosesi upacara dipimpin langsung Rohaniawan dari Matakin Provinsi Jambi, The Lien Teng.
Menurut Ramli (Lie Tiong Lam) salah satu sesepuh Makin Hok Kheng Tong, harapan kita kedepan semoga Tien (Tuhan) dapat memberikan perlindungan kepada bangsa dan negara, “Kita memohon kepada Tien (Tuhan) agar negara dapat terhindar dari segala bencana, masyarakat bisa melakukan aktifitas sehari dan warga aman sentosa, keluarga harmonis”.
Tampak hadir dalam acara akbar tersebut diantaranya, Ketua MAKIN Sai Che Tien, Darmadi Tekun (The Kien Peng), Ketua MAKIN Hok Sin Tong, Darman Wijaya (Huang Chun Hui), Ketua MAKIN Gi Hong Tong, Alex Suyanto (Oh Giok Cie), Ketua Kelenteng Sam Leng Keng, Rudy Lidra, Ketua Hok Liong Sai, Herman Suprato (Chen He Siang) serta beberapa pengusaha di Jambi.
Legenda Kue Bulan
Kue Bulan (Tiong Ciu Phia) adalah salah satu tradisi dikalangan masyarakat Tionghoa yang masih bertahan, perayaan Kue Bulan (Tiong Ciu Phia) yang dirayakan setiap tanggal lima belas bulan kedelapan Imlek. Tradisi tersebut juga dikenal sebagai Festival Pertengahan Musim Gugur. Masyarakat Tionghoa merayakaan "zhong qiu jie" ketika bulan berada pada puncak kecerahannya disepanjang tahun. Menurut legenda, Dewi Bulan yang tinggal di istana kaca, keluar untuk menari dibawah bayang-bayangan bulan. Kisahnya berawal ketika pada suatu masa ada sepuluh matahari bersinar bersamaan diatas langit.
Sejarah Kue Bulan atau Tiong Chiu Pia
Perkataan Tiong Chiu berasal dari kata Tiong yang arti tengah dan Chiu berarti musim rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara harafiah berarti pertengahan musim rontok.
Perayaan sembahyang kue bulan dirayakan setiap tahun tepatnya tanggal 15 bulan delapan kalender Imlek, untuk tahun ini memasuki tahun Imlek ke 2564, yang jatuh pada tanggal 30 September 2012. Pada hari itulah bulan paling terang sepanjang tahun, karena hari itu jarak bulan dengan bumi dan bentuk kue yang bulat melambangkan terangnya bulan menyinari bumi. (romy)
http://ayojambi.com/
http://makinjambi.com/
http://tradisi-jambi.blogspot.com/
http://multi-nusantara.blogspot.com/
http://komunitas-jambi.blogspot.com/
http://media-fotografers.blogspot.com/
http://makin-jambi.blogspot.com/
MAKIN Leng Chun Keng, Sekali Dayung Dua Tiga Pulau Dilalui
JAMBI – Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN Leng Chun Keng) yang berlokasi di Jalan Pangeran Diponegoro, Lorong Koni II, Kelurahan Talangjauh, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi mengadakan sembahyang Tiong Ciu Cui.
Selain menyambut perayaan Kue Bulan (Tiong Ciu Phia), MAKIN Leng Cun Kheng Jambi sekaligus merayakan shejit (ultah) sin beng dan kho khun, untuk menghemat pengeluaran “Tiap tahun kita rayakan sembahyang Tiong Ciu Cui sekaligus merayakan shejit sin beng “ Sun Peng Sing He/ Che Liong Kong” dan kho khun” kata Lim Yong Siang.
Sehari sebelumnya prosesi akbar perayaan Tiong Ciu Cui dilakukan, terlebih dahulu para pengurus kelenteng melakukan sembahyang didepan altar Tien (Tuhan), adapun maksud sebahyang tersebut adalah memberitahu kepada sang pencipta alam semesta, bahwa umatnya hendak merayakan Tiong Ciu Cui dengan menyembahyangi Tai Im Niu Niu (Dewi Bulan) dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban. (romy)
http://ayojambi.com/
http://makinjambi.com/
http://tradisi-jambi.blogspot.com/
http://multi-nusantara.blogspot.com/
http://komunitas-jambi.blogspot.com/
http://media-fotografers.blogspot.com/
http://makin-jambi.blogspot.com/
http://makinjambi.com/
http://tradisi-jambi.blogspot.com/
http://multi-nusantara.blogspot.com/
http://komunitas-jambi.blogspot.com/
http://media-fotografers.blogspot.com/
http://makin-jambi.blogspot.com/
8 Sep 2012
Sejit Fuat Cu Kong, Dihadiri Pengusaha Top Jambi
JAMBI – Tidak disangka ulang tahun Shen Ming, Tio Kong Seng Khun yang lebih dikenal dengan nama panggilan “Fuat Cu Kong” dihadiri lebih dari seribu umat Khonghucu Jambi dan para pengusaha top di Provinsi Jambi, mereka rela datang walaupun harus menumpang kendaraan teman maupun dengan mengunakan jasa tukang ojek.
Letak kelenteng Seng Too Kheng yang diresmikan tahun 2008, perbatasan antara kota Jambi dengan Kabupaten Muarojambi, selain itu lokasi tersebut sepi dari pemukiman warga, namun, walaupun jauh dan sepi, tidak menghalangi niat umat untuk melakukan sembahyang di Kelenteng Seng Too Kheng terletak di Jalan Lingkar Timur II, Rt. 03, Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Jambi Timur, kota Jambi.
Prosesi upacara sejit Tio Kong Seng Khun “Fuat Cu Kong” dan Kho Khun dipimpin langsung oleh rohaniawan Matakin Jambi, The Lien Teng, dimulai sejak pukul 09.00 berakhir pukul 13.30 dan dilanjutkan dengan makan bersama.
Sejit Tio Kong Seng Khun (Fuat Cu Kong) tahun ini, boleh dibilang lebih ramai dari tahun lalu, bahkan yang hadir bukan dari umat biasa, karena ketua kelenteng merupakan orang yang cukup terkenal di Jambi, yakni Tanoto Kusuma/ Tan Wan Kheng (pemilik hotel Novita Jambi).
Acara tersebut dihadiri oleh ketua MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Provinsi Jambi, Darman Wijaya, wakil ketua MATAKIN kota Jambi, Huwanda Desswandhy, ketua MAKIN Leng Chun Kheng, Lim Han Mong, ketua MAKIN Gi Hong Tong, Alex Sujanto, selain itu tampak hadir juga para pengusaha dan tokoh masyarakat Jambi, seperti Lie Tiong Lam (Sesepuh Perkumpulan ANKE Jambi), ketua Hok Liong Sai Herman Suprapto (Chen He Siang), ketua harian Pexi Jambi, Mulyadi, Rudy Lidra, Kontraktor), Andreas (Ong Seng Tek) pimpinan Jambi Prima Mall, Rony Attan, pimpinan distribusi Motor Honda. (Romy)
Prosesi upacara sejit Tio Kong Seng Khun “Fuat Cu Kong” dan Kho Khun dipimpin langsung oleh rohaniawan Matakin Jambi, The Lien Teng, dimulai sejak pukul 09.00 berakhir pukul 13.30 dan dilanjutkan dengan makan bersama.
Sejit Tio Kong Seng Khun (Fuat Cu Kong) tahun ini, boleh dibilang lebih ramai dari tahun lalu, bahkan yang hadir bukan dari umat biasa, karena ketua kelenteng merupakan orang yang cukup terkenal di Jambi, yakni Tanoto Kusuma/ Tan Wan Kheng (pemilik hotel Novita Jambi).
Acara tersebut dihadiri oleh ketua MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Provinsi Jambi, Darman Wijaya, wakil ketua MATAKIN kota Jambi, Huwanda Desswandhy, ketua MAKIN Leng Chun Kheng, Lim Han Mong, ketua MAKIN Gi Hong Tong, Alex Sujanto, selain itu tampak hadir juga para pengusaha dan tokoh masyarakat Jambi, seperti Lie Tiong Lam (Sesepuh Perkumpulan ANKE Jambi), ketua Hok Liong Sai Herman Suprapto (Chen He Siang), ketua harian Pexi Jambi, Mulyadi, Rudy Lidra, Kontraktor), Andreas (Ong Seng Tek) pimpinan Jambi Prima Mall, Rony Attan, pimpinan distribusi Motor Honda. (Romy)
Melilik Upacara Sejit Huat Cu Kong
Setiap kelenteng pasti memiliki shen ming masing-masing yang berbeda nama antara satu kelenteng dan kelenteng lain. Perayaan ulang tahun kelenteng Seng Too Kheng yang sekaligus berbarengan ulang tahun Huat Cu Kong yang dirayakan di Kelenteng Seng Too Kheng di kawasan Lingkar Timur II, Kelurahan Payo Selintah, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi. Bagaimana prosesinya?
Suasana meriah sejak pagi hari langsung terasa ketika memasuki area Kelenteng Seng Too Kheng di kawasan Jalan Lingkar Timur, Kelurahan Payoselincah, Jambi Timur, kemarin (8/9). Umat Khonghucu tampak ramai melakukan ritual sembahyang di dalam kelenteng tersebut.
Tanoto Kusumah, ketua Kelenteng Seng Too Kheng, mengatakan bahwa perayaan hari ulang tahun itu diadakan sekali dalam setahun, setiap tanggal 23 bulan ketujuh tahun Imlek. “Setiap tahun, pasti dirayakan pada tanggal dan bulan tersebut,” katanya.
Tujuan sembahyang, adalah memohon keselamat kepada Tien (Tuhan), “Kita memohon kepada Tuhan agar melindungi bangsa dan tanah air Indonesia dari segala bencana, masyarakat sejahtera.” Imbuh Tanoto Kusumah diselah melayani umat Khonghucu.
Shen Ming Huat Cu Kong merupakan shen ming kelenteng itu yang terdiri atas tiga dewa, yakni dewa dengan muka merah, muka hitam, dan muka hijau. “shen ming itu merupakan shen ming yang ada di kelenteng itu,” katanya.
Prosesi sembahyang shen ming di kelenteng tersebut juga dilakukan tiga tahap. Pertama sembahyang dilakukan di altar utama kelenteng yang menghadap Tien (Tuhan), selanjutnya di dalam altar Huat Cu Kong dan terakhir sembahyang Kho Kun Ciong (sembahyang untuk para pengawal shen ming), kali ini upacara dipimpin rohaniawan dari Matakin Provinsi Jambi, The Lien Teng.
Sembahyang dilakukan pukul 09.00-13.00 WIB, dilanjutkan makan bersama. Tidak ketinggalan diselingi hiburan karaoke.(Romy)
Tanoto Kusumah, ketua Kelenteng Seng Too Kheng, mengatakan bahwa perayaan hari ulang tahun itu diadakan sekali dalam setahun, setiap tanggal 23 bulan ketujuh tahun Imlek. “Setiap tahun, pasti dirayakan pada tanggal dan bulan tersebut,” katanya.
Tujuan sembahyang, adalah memohon keselamat kepada Tien (Tuhan), “Kita memohon kepada Tuhan agar melindungi bangsa dan tanah air Indonesia dari segala bencana, masyarakat sejahtera.” Imbuh Tanoto Kusumah diselah melayani umat Khonghucu.
Shen Ming Huat Cu Kong merupakan shen ming kelenteng itu yang terdiri atas tiga dewa, yakni dewa dengan muka merah, muka hitam, dan muka hijau. “shen ming itu merupakan shen ming yang ada di kelenteng itu,” katanya.
Prosesi sembahyang shen ming di kelenteng tersebut juga dilakukan tiga tahap. Pertama sembahyang dilakukan di altar utama kelenteng yang menghadap Tien (Tuhan), selanjutnya di dalam altar Huat Cu Kong dan terakhir sembahyang Kho Kun Ciong (sembahyang untuk para pengawal shen ming), kali ini upacara dipimpin rohaniawan dari Matakin Provinsi Jambi, The Lien Teng.
Sembahyang dilakukan pukul 09.00-13.00 WIB, dilanjutkan makan bersama. Tidak ketinggalan diselingi hiburan karaoke.(Romy)
9 Agu 2012
22 Jul 2012
Pengakuan Angie Tjetje, Tridarma Itu Tidak Ada
Tahun lalu, Aggie Tjetje membuat disertasi tentang kerancuan nama Tridharma di Indonesia. Ketika bertemu tionghoanews.com beberapa waktu lalu, dirinya kembali mengungkapkan perihal adanya kecelakaan sejarah ini.
Dikatakan Aggie, di negeri China sebenarnya ada empat agama yakni Khonghucu, Taoisme, Buddha Mahayana versi China, dan agama China itu sendiri atau biasa disebut agama rakyat atau volk religi.
"Agama rakyat ini bersifat anonim, tanpa nama, sama halnya dengan agama Yahudi. Disebut demikian karena sesuai dengan suku bangsa yang menganutnya. Sama halnya dengan Hindu yang berasal dari wilayah hindustan," terangnya.
Menurut Aggie, akibat kecelakaan ini hingga sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa tiga agama tadi adalah sama. Padahal, lanjutnya, ketiganya tidak pernah bersatu kecuali menyoal falsafahnya. "Umat ketiga agama ini sebenarnya beragama China.
Tapi karena kesalahpahaman akhirnya muncul trend orang-orang ke Buddha ayo, ke Khonghucu ayo, dan ke yang lainnya juga ayo. Padahal tidak pernah ada gabungan tiga agama yang dikenal sebagai Tridharma itu. Semuanya muncul 2500 tahun lalu, sementara orang China sudah beragama sejak 7000 tahun lalu," paparnya.
Untuk di Indonesia sendiri, kata Aggie, karena waktu itu hanya Buddha yang diakui, maka orang Tionghoa kebanyakan akhirnya memakai topeng Buddha. [Teo Ai Ping / Jakarta / Tionghoanews]
http://yinnihuaren.blogspot.com/2011/12/aggie-tjetje-tridharma-itu-tidak-ada.html
"Agama rakyat ini bersifat anonim, tanpa nama, sama halnya dengan agama Yahudi. Disebut demikian karena sesuai dengan suku bangsa yang menganutnya. Sama halnya dengan Hindu yang berasal dari wilayah hindustan," terangnya.
Menurut Aggie, akibat kecelakaan ini hingga sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa tiga agama tadi adalah sama. Padahal, lanjutnya, ketiganya tidak pernah bersatu kecuali menyoal falsafahnya. "Umat ketiga agama ini sebenarnya beragama China.
Tapi karena kesalahpahaman akhirnya muncul trend orang-orang ke Buddha ayo, ke Khonghucu ayo, dan ke yang lainnya juga ayo. Padahal tidak pernah ada gabungan tiga agama yang dikenal sebagai Tridharma itu. Semuanya muncul 2500 tahun lalu, sementara orang China sudah beragama sejak 7000 tahun lalu," paparnya.
Untuk di Indonesia sendiri, kata Aggie, karena waktu itu hanya Buddha yang diakui, maka orang Tionghoa kebanyakan akhirnya memakai topeng Buddha. [Teo Ai Ping / Jakarta / Tionghoanews]
http://yinnihuaren.blogspot.com/2011/12/aggie-tjetje-tridharma-itu-tidak-ada.html
8 Jun 2012
Hak Sipil Umat Khonghucu Belum Terpenuhi
JAMBI – Kebijakan politik rezim Orde Lama melarang kreativitas etnis Tionghoa salah satunya melarang umat Khonghucu melakukan sembahyang di kelenteng-kelenteng, terkecuali kelenteng tersebut menganti nama menjadi tempat ibadah Tridarma atau Vihara.
Pemerintah rezim Orde Baru dengan menerapkan penggunaan istilah dikotomi pribumi dan non pribumi. Kebijakan Inpres No. 14 Tahun 1967 telah melarang semua bentuk ekspresi keagamaan dan adat Tionghoa di ruang publik. Kondisi-kondisi inilah yang menyulut api sentimen pribumi vs Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang akhirnya memuncak pada kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah rezim Orde Baru dengan menerapkan penggunaan istilah dikotomi pribumi dan non pribumi. Kebijakan Inpres No. 14 Tahun 1967 telah melarang semua bentuk ekspresi keagamaan dan adat Tionghoa di ruang publik. Kondisi-kondisi inilah yang menyulut api sentimen pribumi vs Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang akhirnya memuncak pada kerusuhan Mei 1998.
Angin segar mulai menyapa keturunan etnis Tionghoa setelah Gus Dur menduduki tampuk kepemimpinan Republik Indonesia pasca Reformasi. Dengan wawasan kebangsaan Gus Dur mencabut semua peraturan yang mendiskriminasikan kaum Tionghoa dengan mengeluarkan PP. No. 6 Tahun 2000. Bahkan, Gus Dur memberikan apresiasi dengan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur Nasional, sebagaimana hari raya agama-agama lainnya. Inilah wujud keberpihakan Gus Dur terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Menurut Gus Dur, “Etnis Tionghoa adalah sama dengan etnis-suku bangsa yang lain, seperti Jawa, Batak, Papua, Arab, India, Jepang dan Eropa yang sudah sejak lama hidup dan menjadi bagian dari warga negara Indonesia.”
Namun ternyata, sudah 12 Tahun, masih banyak ditemukan hak-hak sipil umat Khonghucu belum terpenuhi, diantaranya KTP masih mengunakan blangko (form) lama, tidak ada pendidikan agama di sekolah-sekolahan dan lain sebagainya.
Hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Dewan Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesai (DP-MATAKIN), bahwa dalam laporan Matakin daerah masih terdapat main tembak dalam mendapat warga yang dilakukan BPS, seperti di Cimanggis dalam data BPS tidak ada warga yang beragama Khonghucu, pada hal di Cimanggis (Jabar) orang Tionghoa yang beragama Khonghucu paling banyak dibanding dengan kawasan Jawa barat lainnya.
Maka Ketua Matakin Provinsi Jambi, Darman Wijaya sangat mengharapkan agar umat Khonghucu di Jambi tidak segan-segan menganti KTP yang tercantum bukan agamanya (Khonghucu) dan juga sangat mengharap pihak terkait seperti Rt, Lurah dan Camat menanyakan apa agama yang dipeluk oleh orang Tionghoa yang datang mengurus KTP. Jangan sampai terjadi seperti di Kabupaten Cimanggis (Jabar), data BPSnya tidak akurat, masa agama Khonghucunya NOL, ada juga laporan dari Matakin Yogyakarta, umat Khonghucu kesulitan mengunakan KTP Khonghucu dalam proses urusan tanah.
Tidak kalah penting, hingga saat ini dulunya nama kelenteng yang diganti nama menjadi Tridarma maupun Vihara tidak dikembalikan seperti semula, bahkan ada kelenteng yang terang-terangan dicaplok oleh TITD yang Sinkretisme (pengabungan beberapa agama didalamnya). Oleh karena itu, dalam Rakernas Matakin yang baru lalu, meminta dengan tegas kepada pemerintah untuk menganti dan mengembalikan hak kelenteng dan menyatakan TITD bulam agama campuran dan juga mengharapkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bisa meninjau langsung dilapangan. (Romy)
Namun ternyata, sudah 12 Tahun, masih banyak ditemukan hak-hak sipil umat Khonghucu belum terpenuhi, diantaranya KTP masih mengunakan blangko (form) lama, tidak ada pendidikan agama di sekolah-sekolahan dan lain sebagainya.
Hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Dewan Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesai (DP-MATAKIN), bahwa dalam laporan Matakin daerah masih terdapat main tembak dalam mendapat warga yang dilakukan BPS, seperti di Cimanggis dalam data BPS tidak ada warga yang beragama Khonghucu, pada hal di Cimanggis (Jabar) orang Tionghoa yang beragama Khonghucu paling banyak dibanding dengan kawasan Jawa barat lainnya.
Maka Ketua Matakin Provinsi Jambi, Darman Wijaya sangat mengharapkan agar umat Khonghucu di Jambi tidak segan-segan menganti KTP yang tercantum bukan agamanya (Khonghucu) dan juga sangat mengharap pihak terkait seperti Rt, Lurah dan Camat menanyakan apa agama yang dipeluk oleh orang Tionghoa yang datang mengurus KTP. Jangan sampai terjadi seperti di Kabupaten Cimanggis (Jabar), data BPSnya tidak akurat, masa agama Khonghucunya NOL, ada juga laporan dari Matakin Yogyakarta, umat Khonghucu kesulitan mengunakan KTP Khonghucu dalam proses urusan tanah.
Tidak kalah penting, hingga saat ini dulunya nama kelenteng yang diganti nama menjadi Tridarma maupun Vihara tidak dikembalikan seperti semula, bahkan ada kelenteng yang terang-terangan dicaplok oleh TITD yang Sinkretisme (pengabungan beberapa agama didalamnya). Oleh karena itu, dalam Rakernas Matakin yang baru lalu, meminta dengan tegas kepada pemerintah untuk menganti dan mengembalikan hak kelenteng dan menyatakan TITD bulam agama campuran dan juga mengharapkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bisa meninjau langsung dilapangan. (Romy)
Langganan:
Postingan (Atom)