Tampilkan postingan dengan label Kong Miao. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kong Miao. Tampilkan semua postingan

5 Nov 2012

Kala Para Dewa Bertemu di Petak Sembilan

KOMPAS.com - Sembilan puluh dewa berkumpul di Petak Sembilan, Jakarta. Mereka lalu diarak sepanjang jalan raya. Inilah tradisi lama etnis Tionghoa yang dihidupkan kembali dalam konteks Indonesia hari ini.
Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada, Jakarta, menjadi lautan manusia, Minggu (21/10/2012). Ribuan orang bersukacita mengarak para dewa yang turun dari berbagai penjuru Indonesia disertai tarian barongsai dan ular naga. Inilah kirab ritual yang digelar Kelenteng Fat Cu Kung untuk merayakan ulang tahun (sejit) dewa tolak bala, Fat Cu Kung.

Acara sejit disertai arak-arakan dewa seperti ini belakangan marak di sejumlah daerah. Eddy Loho (58), pemimpin spiritual Kelenteng Tay Seng, Kota Manado, Sulawesi Utara, mengatakan, sepanjang tahun 2011-2012, dia telah menghadiri 15 kirab di sejumlah daerah, mulai Gorontalo, Makassar, Bojonegoro, Nganjuk, Surabaya, Lasem (Rembang), sampai Jakarta. Saking banyaknya undangan kirab, Loho dan rombongan belum sempat pulang ke Manado sejak 3 Oktober lalu.

"Kami bergerak dari satu kelenteng ke kelenteng lain untuk ikut sejit dan kirab. Setelah hadir di kirab Fat Cu Kung, (kami) baru bisa pulang ke Manado," ujar Loho yang rombongannya terdiri atas 40 orang.

Lima tahun terakhir, kelenteng-kelenteng di Indonesia seolah berlomba untuk mengadakan kirab. ”Bisa dikatakan tahun ini terjadi ledakan sejit yang disertai kirab ritual,” kata Suhendar dari Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Kait, Banten.

Kelenteng Tjo Soe Kong akan menggelar sejit dan kirab ritual pada akhir Desember nanti. "Ini adalah kirab pertama yang pernah kami gelar. Kami mengundang 200-an kelenteng di seluruh Indonesia," ujar Suhendar yang dipercaya sebagai ketua panitia.

Selasa (30/10/2012), persiapan acara besar itu telah dilakukan. Kelenteng bertahun 1959 yang terletak sekitar 200 meter dari laut di Teluk Jakarta itu bersolek sebelum menyambut kedatangan ribuan tamu. Kelenteng dipoles, dicat, dan dirapikan.

Korban stigma

Selama Orde Baru berkuasa, komunitas etnis Tionghoa dilarang mengekspresikan kebudayaan mereka. ”Jangankan bikin kirab, pasang hio di depan rumah saja dilarang,” ujar Tjia Boen Kiat, pemimpin Kelenteng Fat Cu Kung.

JJ Rizal dari Komunitas Bambu mengatakan, Orde Baru melakukan politik eksorsisme, yakni membangun stigma buruk tentang ekspresi keagamaan dan tradisi etnis Tionghoa. ”Secara sistematis membangun stigma bahwa segala sesuatu tentang China itu jahat dan tidak membaur. Faktanya di Nusantara budaya China berakulturasi secara luar biasa,” kata Rizal.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melepas kekangan itu, etnis Tionghoa pun bebas mengekspresikan tradisi dan kebudayaan mereka, termasuk menggelar kirab budaya. Dengan kirab, kata Loho, kelenteng menjadi semarak. ”Dewa-dewa yang selama bertahun-tahun dibiarkan ’tidur’ di kelenteng dibangunkan kembali,” ujar Loho.

Kirab juga menjadi cara efektif untuk menyedot umat. Kelenteng yang sering menggelar kirab akan populer dan umatnya bertambah. Loho mencontohkan, ada sebuah kelenteng di Nganjuk, Jawa Timur, yang umatnya hanya 15 orang. Setelah menggelar kirab, umat mereka bertambah menjadi 100 orang.

Usaha ini pula yang sedang ditempuh Suhendar. Dia mengatakan, sejak tahun 1990-an sampai pertengahan 2000, popularitas Kelenteng Tjo Soe Kong sempat tenggelam.

”Lewat acara kirab, kami ingin membangkitkan lagi masa-masa kejayaan kelenteng yang pernah menjadi salah satu kelenteng terbesar di Banten,” katanya.

Suhendar menambahkan, kelenteng-kelenteng kecil yang bangunannya masih mengontrak pun berani menggelar kirab untuk tujuan serupa. ”Kalau kelenteng populer, umat yang datang pasti banyak dan sumbangan yang masuk ke kelenteng pasti bertambah dan bisa menggelar acara-acara. Ini sudah jadi tren,” kata Suhendar.

Meski begitu, tegas Suhendar, kirab tidak bisa sembarangan digelar. Mereka harus sembahyang dulu kepada dewa. ”Jika dewanya mau diulangtahuni dan dikirab, kami jalankan. Kalau dewa tidak mau dikirab, ya enggak bisa,” katanya.

Peziarah

Seiring maraknya kirab, bermunculan pula komunitas umat kelenteng yang rajin menghadiri acara kirab dewa di sejumlah kota. Di antara mereka adalah Iing (53) asal Cirebon, Jawa Barat. Setahun terakhir, Iing dan keluarga setidaknya menghadiri enam acara kirab di Tegal, Semarang, Tuban, Cilacap, dan Madura. ”Pokoknya kalau ada dana, kami berangkat pakai bus,” kata Iing.

Iing hadir di acara kirab Dewa Fat Cu Kung di Petak Sembilan bersama dua anaknya dan puluhan umat Kelenteng Welas Asih, Cirebon. Setelah mengikuti kirab, Iing dan rombongan berniat belanja pakaian di Tanah Abang, Jakarta.

Yuli (63) asal Kalideres juga rajin mengikuti kirab hingga keluar wilayah Jakarta. Tujuannya satu, mengalap berkah dari para dewa yang hadir. ”Mumpung banyak dewa berkumpul di acara sejit dan kirab, saya meminta berkah. Bayangkan, kalau bukan di acara seperti ini, saya harus keliling ke banyak kelenteng untuk bertemu dewa yang berbeda-beda,” katanya.

Setiap kelenteng biasanya memang memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti dewa pelindung, tolak bala, penyembuh, pemberi keberuntungan, dan pemberi rezeki. Bahkan, beberapa kelenteng memiliki dewa lokal yang barangkali tidak ada di kelenteng mana pun di Indonesia atau dunia. Di Kelenteng Tjo Soe Kong, misalnya, ada Dewa Mbah Rahman dan Dewi Neng. Mereka adalah dua tokoh lokal yang dinilai telah memiliki karma baik kepada masyarakat sehingga pantas didewakan.

Pada akhirnya, menurut Rizal, kirab ritual adalah bagian dari ekspresi budaya etnis Tionghoa. ”Tradisi semacam ini ibarat lorong waktu yang membuat orang atau sebuah komunitas ada,” katanya.

Itulah yang dirasakan Rudi (25). Sebagai peranakan Tionghoa, dia tidak mengenal budaya dan tradisi etnis Tionghoa. ”Kirab dewa baru saya alami sekarang. Dulu paling dengar ceritanya doang dari orang-orang tua,” ujar Rudi, generasi peranakan Tionghoa yang tidak lagi mengenal nama lahir China.

Hal yang sama dirasakan Yuli (63). Waktu kecil dia sering diajak ikut kirab oleh orangtua. Setelah Soeharto berkuasa, tradisi kirab dewa tidak lagi dia alami. ”Kirab hampir terhapus dalam ingatan saya. Untung sekarang boleh diadakan lagi.”

Bagi Rizal, pengungkapan ekspresi tradisi budaya berbagai etnik di Nusantara pada akhirnya akan memperkuat keindonesiaan kita. ”Setiap orang Indonesia bisa saling belajar tentang akar budaya yang lain, belajar tentang orang yang hidup (berdampingan) bersama kita,” katanya.(Budi Suwarna & Aryo Wisanggeni)

http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/07590628/

"Tang Shen", Medium Para Dewa

KOMPAS.com - Minggu (21/10/2012) menjelang petang, Teddy Onibala kembali ke alam sadar. Ia meneguk air mineral dan tersenyum menerima jabat tangan banyak orang. Minggu siang, lidahnya tersayat-sayat pedang di tangannya sendiri, darahnya mengucur menjadi tinta yang dipakainya untuk hu (kertas doa berwarna kuning), punggungnya pun luka oleh tebasan pedang. Pedangnya sendiri....
"Lukanya masih membekas sedikit, tetapi memang tak terasa sakit," ujar Onibala, sang tang shen (orang yang menyediakan tubuhnya menjadi perantara dewa) dari Kelenteng Tay Seng Bio, Manado, Sulawesi Utara. "Sungguh, saya tadi tidak tahu apa saja yang terjadi," ujarnya serius.

Pipi Santje, tang shen lain dari Tay Seng Bio yang pada Minggu siang dikoyak-koyak kawat baja yang keluar-masuk wajahnya juga tersenyum saja ditanyai soal ritual tang shen yang dijalaninya. Seperti Onibala, wajahnya sumringah tanpa sedikit pun noda luka, hanya keringat yang terus mengucur. Meski memukau banyak orang, tak ada kesan jumawa dari mereka.

Menjadi tang shen memang bukan pekerjaan seorang jumawa. Onibala dan Santje justru harus prihatin untuk menyiapkan tubuh mereka disinggahi dewa demi mengangkat karma buruk manusia dan semesta.

"Kami berpantang selama 49 hari, berdiam di kamar, hanya membaca kitab-kitab dan merenung. Makan, kopi, juga rokok, diantarkan ke bilik kami di kelenteng. Jadi selama menyiapkan diri kami tak pulang ke rumah," kata Onibala.

Eddy Loho, pemimpin Kelenteng Tay Seng, menuturkan kerelaan untuk mengasingkan diri dan menjalani pantangan itu penting untuk membersihkan diri para tang shen.
"Menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan, termasuk berhubungan badan dengan istri, bahkan pulang ke rumah, harus dilakukan agar pikiran para tang shen jernih. Menjadi medium pengorbanan para dewa bukan hal yang ringan, dan tang shen bukan atraksi gagah-gagahan," kata Loho.

Tak semua orang bisa begitu saja menjadi tang shen. "Menjadi tang shen harus sepersetujuan para dewa. Jika tidak, tidak akan berhasil. Hanya mereka yang terpilih yang mampu menjalaninya," kata Loho meyakinkan.

Onibala, misalnya, tidak pernah menduga dirinya bisa menjadi tang shen Kelenteng Tay Seng Bio. "Orangtua saya bukan seorang tang shen, tetapi saya terpilih menjadi tang shen. Ternyata, dalam garis keturunan saya memang ada seorang kakek yang menjadi tang shen. Namun, siapa yang terpilih menjadi tang shen memang tak bisa diduga,” kata Onibala.

Dahulu, tang shen merupakan ritual dan tradisi yang umum muncul dalam berbagai perayaan keagamaan maupun tradisi peranakan Tionghoa. Dulu hampir setiap kelenteng memiliki tang shen. Namun, pelarangan tradisi dan ritual keagamaan peranakan Tionghoa selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membuat tradisi itu terkikis.

"Kami di Manado beruntung karena selama Orde Baru situasi keamanan di Manado memungkinkan kami terus merayakan berbagai peristiwa keagamaan ataupun tradisi peranakan Tionghoa di Manado," ujar Loho. (ROW/BSW)

http://oase.kompas.com/read/2012/11/04/11141966/

3 Nov 2012

Silaturahmi Antar Pengurus Kelenteng Jambi dan Palembang


JAMBI - Untuk menyambung tali silaturahmi antar perkumpulan Kelenteng yang tergabung dalam Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Provinsi Jambi dan Matakin Kota Jambi berkunjung ke Kelenteng Hok Liong Tong, di Jalan Sriwijaya Negara, No. 1771, Rt. 23, Rw. 08, Bukit Besar, Palembang (Sumsel).
Kunjungan ini dipimpin oleh Wakil Ketua Matakin Provinsi Jambi, Alex Sujanto dan didampingi oleh beberapa fungsional dari Matakin Provinsi Jambi dan Kota, diantaranya Wakil Ketua Bidang Sosial dan Humas, Berlianta Eliamsya (Lie Tjin Hai), Ketua Bidang Rohaniawan, The Lien Teng, Wakil Ketua Matakin Kota Jambi, Huwanda Desswandhy, Wakil Sekretaris, Handoko Thetro, serta ketua perkumpulan Ankhui Jambi, Tan Ka Sui (Kasuri) ikut dalam rombongan Matakin Jambi.

Tujuan Matakin Provinsi Jambi ke Palembang adalah sembahyang dan silaturahmi dengan pengurus Kelenteng Hok Liong Tong. Kehadiran pengurus Matakin Jambi di Palembang telah ditunggu oleh pengurus Hok Liong Tong sejak pukul 10.00 pagi.

Selain tujuan sembahyang di Hok Liong Tong, rombongan Matakin Jambi juga mensosialisakan keberadaan agama Khonghucu yang resmi menjadi salah satu agama di Indonesia, keberadaan Kelenteng adalah tempat ibadah umat Khonghucu, juga sebagai tempat pendidikan keagamaan (Peraturan Pemerintah Repubrik Indonesia, Nomor 55 Tahun 2007, tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan).

Ujar, Wakil Ketua Matakin Jambi, Alex Sujanto, “Tujuan rombongan Matakin Jambi ke Palembang (sumsel) selain sembahyang, kita juga mensosialisasikan keberadaan agama Khonghucu di Kelenteng Hok Liong Tong.” (Romy)

23 Jan 2012

Sambut Imlek Dengan Sembahyang Di Klenteng

JAMBI – Warga Tionghoa di seluruh Nusantara merayakan pergantian tahun China atau Imlek dengan sembahyang dan berdoa. Di Jambi, sejak dini hari umat Khonghucu menyambut perayaan Imlek 2563, Senin (23/1-2012), diisi dengan sembahyang di klenteng-klenteng. Sejak dini hari ribuan umat Khonghucu Jambi sudah memenuhi klenteng Siu San Teng, salah satu klenteng terbesar di Provinsi Jambi. Berbagai ukuran lilin merah menerangi ruangan altar Hok Tek Chen Sen serta diiringi harumnya aroma Hio (gaharu) yang sangat menyengat hidung.
Ribuan umat Khonghucu silih berganti mendatangi klenteng terbesar di Kota Jambi, mereka datang bersama keluarga untuk sembahyang perayaan Imlek 2563.

Ada yang datang dengan kendaraan roda empat, ada juga yang mengunakan sepeda motor dengan membawa sajian sembahyang seperti buah-buahan segar.

Hasil pantauan dilapangan, terlihat kegembiraan diwajah umat Khonghcu, saling sapa satu sama yang lain, diiringi ucapan “Gong Xi-Gong Xi” sambil bersalaman penuh dengan keakraban.

Hari Raya Imlek, sesungguhnya bukan merupakan momentum untuk bersenang-senang yang berlebihan. Namun momen ini harus digunakan untuk merefleksi diri, saling beranjang sana, silahturahmi, saling memohon maaf kepada kawan, keluarga tanpa memandang bulu dan juga digunakan untuk memohon doa restu dan maaf dari orangtua atau yang dituakan.

Sehari sebelum Imlek, umat Khonghucu telah melakukan sembahyang terhadap orangtua atau leluhur mereka yang altarnya dirumah, ada juga yang ke vihara-vihara dimana abu jenazah keluarganya disemayamkan disana.

Bagi masyarakat Tionghoa di belahan dunia mana pun, Imlek atau Tahun Baru China merupakan perayaan yang begitu di nanti-nantikan. Betapa besar arti Imlek bagi mereka, tidak sekadar sebagai sarana perenungan untuk memperbaiki diri, tetapi juga momen yang paling afdol untuk memohon kehidupan yang lebih baik kepada Sang Pencipta Alam Semesta, serta mendoakan para leluhur yang telah mendahului mereka. "Kalau ada kekurangan dan kesalahan diperbaiki dan kalau ada keburukan sebaiknya dibuang," Ujar Chandra warga Mayang.(Rom-Yul)

13 Apr 2011

Mencari Bibit Rohaniwan

JAMBI - Dalam rangka mencari bibit rohaniawan Khonghucu di Provinsi Jambi, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pusat bekerjasama dengan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Jambi menggelar pelatihan calon Rohaniwan yang dibuka siang tadi (13/4) di Klenteng Hok Sin Tong di RT. 23 Kelurahan Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung. Acara yang digelar selama tiga untuk mencari bibit Rohaniwan Khonghucu yang jumlahnya sangat terbatas di Provinsi Jambi.
Menurut Xs. Djaengrana Ongawijaya, Dewan Rohaniwan Matakin yang juga sebagai pembicara bahwa pelatihan ini lebih memfokuskan mencari Rohaniwan yang mampu memimpin doa (upacara) dan memimpin pernikahan. Ini juga salah satu kegiatan Matakin untuk mengembangkan ajaran dan keahlian umat Khonghucu diberbagai daerah di Indonesia dalam memperdalam ajaran Khonghucu. “Kita berharap selama tiga hari ini bisa memberikan pendidikan yang cukup sehingga para peserta bisa langsung kita resmikan sebagai Rohaniwan yang langsung terjun kemasyarakat. Memimpin doa dan upacara,”bebernya saat ditemui setelah acara pembukaan.

Saat pembukaan, turut hadir Drs. Sayuti, Pembinas Agama Khonghucu Kementrian Agama Provinsi Jambi bahwa saat ini, pihaknya sangat mendukung kegiatan yang bernilai positif tersebut. Ini mengingat keterbatasan jumlah ahli atau rohaniwan di Provinsi Jambi. “Tentunya kita sangat mendukung kegiatan ini. Apalagi, selama ini kegiatan yang sama sangat jarang sekali diadakan dan kita berharap dengan adanya kegiatan ini, semakin banyak kegiatan yang dilakukan oleh umat Khonghucu sehingga semakin berkembang dengan baik,”bebernya.

Pada hari pertama, peserta diberikan berbagai materi seperti legalisasi Agama Khonghucu, pengenalan Matakin, Keimanan serta kelengkapan dan tata cara sembahyang yang upacara. Semua pemateri diberikan langsung oleh pihak Matakin Pusat. “Kita juga lengkapi dengan berbagai referensi seperti buku dan majalah yang memang jumlahnya terbatas di Provinsi Jambi ini,”ujarnya.

Dari pantauan dilapangan, peserta terlihat cukup bersemangat mengikuti pelatihan. Sebagian besar peserta adalah pengurus Klenteng di Jambi yang memang selalu terjun langsung dalam setiap upacara dan ritual di beberapa Klenteng di Kota Jambi. “Dengan kehadiran para pengurus Klenteng, mereka bisa langsung mempraktekkan keahlian mereka yang sudah didapat di pelatihan ini,”bebernya.

Pembukaan Pelatihan Rohaniwan Khonghucu Dihadiri 19 Klenteng

JAMBI - Pelatihan Calon Rohaniwan yang digelar oleh Matakin Pusat ini diikuti oleh 19 utusan klenteng dari 27 Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. Ini dikoordinir oleh empat Makin Jambi yaitu Makin Sai Che Tien, Leng Chun Keng, Gie Hong Tong dan Hok Sin Tong. “Kita berharap dengan kegiatan ini, semua Klenteng bisa bekerjasama dengan baik,”ujar The Kien Peng (Darmadi Tekun), Ketua Makin Sai Che Tien Jambi.
Pria berkacamata ini juga mengharap agar setiap Klenteng di Provinsi Jambi memiliki Makin masing masing sehingga setiap upacara dan ritual yang digelar sudah sesuai dengan ajaran Konghucu yang baik dan benar. Dia juga menambahkan bahwa selama ini, ajaran asli tentang Khonghucu sedikit kabur sehingga ada beberapa umat yang melakukan sembahyang belum sesuai dengan standar Khonghucu yang sebenarnya. “Inilah kendala yang sering dihadapi, peraturan dan tata cara sembahyang yang kadang masih abu abu serta para Rohaniwannya yang sangat terbatas. Sebagian Klenteng harus mengundang Rohaniawan dari Provinsi Jambi untuk memimpin sebuah upacara,”ujarnya.
Maka, dengan kegiatan ini, diharapkan semakin banyak umat yang mengerti tentang ajaran dan tata cara sembahyang yang baik dan benar. “Diawali dengan pemahaman para pengurus Klenteng sehingga bisa diikuti oleh setiap umat yang ada,”bebernya.

Selain itu, Sayuti, pembinas Agama Konghucu Kementrian Agama Provinsi Jambi menyebutkan adanya beberapa kendala yang dihadapi dalam mendataan jumlah pemeluk agama Khonghucu dan jumlah Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. Hingga saat ini, katanya, data yang tercatat lebih kurang 2000 umat Khonghucu di Provinsi Jambi.

Sedangkan pada saat pelatihan, sudah hadir 19 Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. “data inilah yang belum valid. Maka, kita berharap agar Makin Jambi bisa memberikan data yang lebih akurat kepada kita agar kita bisa melaporkannya ke pihak Pusat. Kita berharap akan semakin banyak informasi dan data akurat yang bisa kita dapatkan sehingga kitapun bisa memberikan support untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap Klenteng,”bebernya.