30 Apr 2011

Puluhan Remaja Terjaring Dalam Razia PSK

JAMBI - Razia pekerja seks komersial (PSK) di sejumlah tempat hotel melati di Kota Jambi kembali digelar pada malam Sabtu hingga dini hari (30/4), razia PSK sempat terhenti satu tahun lebih.
Petugas dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Sosnaker) Kota Jambi, Poltabes Jambi serta Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kota Jambi dan instansi terkait lainnya.

Dari hasil razia gabungan tersebut yang dilaksanakan Sabtu malam. Razia yang dilakukan di hotel-hotel kelas metali cukup mengejutkan, yang menjaring 22 wanita dan laki-laki 16 orang.

"pasangan muda-mudi itu tertangkap dalam kamar hotel sedeang berduaan dengan pasangan yang bukan suami istri (pasutri). Tapi sebagian hotel di Kota Jambi sepertinya sudah bersih dari prostitusi, biasanya beberapa hotel tersebut wanita yang terjaring cukup banyak. Mungkin rencana razia sudah bocor, hingga terget pada kabur sebelum dirazia oleh tim gabungan,"ujar salah satu petugas razia.

Menurut Kepala Kantor Sosnaker Kota Jambi, Kaspul, SH. ME, razia yang dilakukan pihaknya baru kali pertama di tahun 2011. "tujuan razia adalah untuk menekan maraknya PKS di Kota Jambi,"katanya.

Sementara itu ada beberapa kamar hotel hotel, tak satu pun oknum yang ditemukan. Namun tv menyala, handuk yang berserakan, tempat tidur yang masih hangat, serta botol minuman, tetapi penghuninya sudah lari.

Razia dibagi dalam dua tim, yaitu di wilayah Pasar Kota Jambi, Kecamatan Jambi Timur, Kecamatan Telanaipura, Kecamatan Jelutung dan Kecamatan Kota Baru. Razia dimulai sekitar pukul 23.00 WIB.

Tim yang melakukan razia di Pasar Jambi sempat terjadi kejar-kejaran dengan beberapa PSK yang sedang menunggu para hidung belang dibelakang Novita Hotelt

Bahkan banyak terdapat hidung belang yang membawa wanita usia muda ke hotel, dan juga ditemukan beberapa pasang yang usianya cukup senja sedang bercinta di dalam hotel (rom)

29 Apr 2011

Air Susu Dibalas Air Tuba

JAMBI – Dadang Ismanad bin Johardi (35) merupakan salah satu narapidana (napi) yang tidak tahu diuntung, pasalnya saat minta rujuk berobat diluar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Jambi, melarikan diri pada kamis siang (28/4).
Dadang tersandung kasus pengelapan kendaraan bermotor, sehari-hari dipercayai untuk membantu petugas di Lapas, namun kepercayaan itu disalah gunakan tersangka, dengan dalih sakit dan minta berobat diluar Lapas, siapa sangka petugas mengantar ke Rumah Sakit MMC, waktu petugas lengkah Dadang kabur liwat samping MMC.

Namun dewi fortuna belum berpihak kepadanya, dalam tempo 30 jam pelarian tersangka dapat dipatahkan oleh petugas Lapas Klas IIA Jambi yang telah menanti sejak pukul 16.00 WIB di Jamtos. Ternyata pukul 18.30 saat tersangka memasuki Mall Jamtos, tanpa membuang waktu petugas Lapas langsung menangkapnya, tenyata tersangka lakukan perlawanan, hingga membuat suasana didalam Jamtos jadi ramai, begitu pengunjung yang mengetahui tersangka adalah napi, kontan saja tersangka dihakimi masal.

26 Apr 2011

Memburu Pemilik Ladang Ganja

SUNGAIPENUH - Jajaran Polres Kerinci, Jambi terus lakukan perburuan terhadap tersangka pemilik ladang ganja seluas dua hektare, yang ditemukan di Desa Renah Pemetik, Kecamatan Siulak, Kabupaten Kerinci.
Kapolres Kerinci, AKBP Hastho Rahardjo membenarkan hal itu. Ia mengatakan, saat petugas masih melakukan pencarian terhadap tersangka.

"Saat ini pengejaran terus dilakukan. Petugas tidak akan berhenti sebelum tersangka berhasil ditangkap," kata Kapolres Kerinci, saat dikonfirmasi wartawan, (25/4).

Diketahui, sebelumnya Polres Kerinci berhasil menemukan ladang ganja seluas dua hektar, di posisi 78,65 lintang utara, 97,95 bujur timur. Tanaman ganja itu diperkirakan sudah berumur enam sampai tujuh bulan.

Warga yang ikut langsung melihat ladang ganda tersebut, Sofa, saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, setelah menempuh perjalanan selama 16 jam menelusuri hutan, akhirnya anggota Polres Kerinci yang terdiri dari Buser, Satnarkoba, dan Brimob, sampai ke lokasi penanaman ganja.

"Setelah berhasil melewati medan yang sangat berat, akhirnya ladang ganja itu ditemukan," ujar Sofa, saat dikonfirmasi Tribun via telepon, Minggu(24/2).

Menurut Sofa, ladang ganda ditanam di kawasan hutan, dengan tingkat kemiringan hingga 45 derajat, sehingga sulit dipantau dari udara. "Informasi yang kami dengar dari Kapolres, tersangka pemilik ganja berinisial B, yang saat ini masih dalam pengejaran," ucap Sofa.

Saat perjalanan pulang dari lokasi, petugas juga mendapat informasi dari warga, tentang keberadaan ganja di salah satu rumah warga. "Setelah diperiksa, petugas menemukan setengah kilo ganja," kata Sofa.

Informasi yang berhasil dihimpun di lapangan, pemilik kebun ganja tersebut adalah warga berinisial B, yang tinggal di Kecamatan Air Hangat. Kabarnya, pemilik ganja setinggi 1,5 meter hingga 2,5 meter tersebut, baru saja keluar dari Rutan sungaipenuh (team)

21 Apr 2011

Ulat Bulu Mulai Serang Tanjab Barat, Jambi

JAMBI - Serangan ulat bulu ternyata mulai mewabah dan menyerang tanaman warga di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.

Namun serangan hama ini belum dikategorikan mengkhawatirkan, karena cepat ditangani oleh warga yang dibantu petugas pengendali hama setempat.
Serangan pertama ulat bulu di Jambi ini terjadi di Rt 12 Dusun Pasar dan di Rt 25 dusun Kampung, desa Pematang Lumut, kecamatan Betara, kabupaten Tanjab Barat, Provinsi Jambi.

Ulat bulu menyerang tanaman warga seperti pohon mangga yang letaknya banyak menyebar di pekarangan rumah.

Ulat bulu yang diperkirakan berjenis Lymantria Marganita ini berjumlah ribuan dan telah menggerogoti dedaunan yang terdapat di pohon mangga ini.

Bahkan, serangan ulat bulu juga sempat menjalar hingga ke rumah warga sehingga tak jarang ada warga yang terkena ulat bulu yang mengakibatkan gatal-gatal pada kulit.

Sebelum dilakukan penyemprotan Desinfektan oleh petugas warga mengatasinya dengan cara membakar ulat dan memangkas beberapa dahan pohon namun ternyata cara ini belum berhasil mengusir ulat bulu.

Setelah berupaya mengatasi sendiri dan tidak berhasil, warga yang mulai resah akhirnya mendapat bantuan dari dinas terkait dan kini telah melakukan upaya penyemprotan untuk mencegah penyebaran.

Untuk lebih menyakinkan jenis ulat bulu yang menyerang tanaman warga di Jambi, petugas telah mengambil beberapa sampel ulat untuk diteliti lebih lanjut.

Petugas dinas pertanian sendiri telah menghimbau kepada warga sekitar agar segera melaporkan ke petugas bila terdapat serangan ulat bulu agar tidak menyebar ke daerah lainnya. (nug)

Polisi Tangkap Pemasok Sabu 1,6 Miliar

JAMBI - Seorang pemasok narkotika bernama Jhoni Ruso ditangkap satuan narkoba Polrestabes Jambi karena kedapatan menyimpan narkotika jenis sabu-sabu di rumahnya.
Jhoni ditangkap di rumahnya di kawasan Kebun Handil, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi dan dari tangan tersangka polisi mendapatkan barang bukti sabu-sabu seberat 800 gram.

Penangkapan Jhoni Ruso ini berkat kecurigaan warga sekitar yang curiga dengan aktifitas di rumah tersangka, pasalnya di rumah tersebut banyak terdapat kamera CCTV Warga bersama polisi akhirnya menggerebek rumah itu dan ditemukanlah barang bukti.

Menurut pengakuan tersangka kepada pihak polisi, dirinya sudah dua kali menjual barang haram yang ia dapatkan dari seorang temannya di Jakarta berinisial R yang masih dalam pengejaran polisi.

Awalnya tersangka dikirimi sabu-sabu dari Jakarta oleh R sebanyak setengah kilogram dan habis terjual, lalu pengiriman kedua tersangka menerima 1 kg dan sudah habis terjual sebanyak 200 gram, sisanya 800 gram sabu-sabu yang berhasil disita petugas bernilai Rp. 1,6 miliar rupiah.

Modus yang selalu dipakai tersangka melalui jasa kurir yang diperintah oleh R Sedangkan tersangka tidak mengenal kurir tersebut. Shabu diletakan di tempat penitipan barang di mall dan kartu penitipan diserahkan pada tersangka. Mereka berhubungan via ponsel dan pembayaran dilakukan setelah barang tiba dengan menggunakan mesin ATM.

Tersangka saat ingin diwawancarai wartawan menolak berkomentar, saat ini tersangka dan barang bukti 800 gram sabu diamankan di Mapolresta Jambi, Polisi juga mengamankan barang bukti lainnya seperti timbangan digital, handphone dan pembungkus sabu.

Tersangka akan dijerat dengan Pasal 112 ayat 2 dan pasal 114 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman hukuman seumur hidup (nug)

18 Apr 2011

MBI Anjangsana Ke Panti Jompo

JAMBI – Dalam rangka menyambut Trisuci Waisak 2562/BE dan Hari Kartini, Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jambi beserta Generasi Buddhis Sakyakirti dan Wanita Buddish Indonesia (WBI) mengunjungi Panti Jompo Budi Luhur di Jalan pangeran Hidayat, Kelurahan Paal V, Kecamatan Kota Baru, kota Jambi.
Kujungan sekaligus pemberian bantuan paket kepada lansia tersebut sebagai peringatan Hari Kartini yang jatuh 21April nanti sekaligus menuju peringatan hari besar umat Buddha, yaitu memperingati Tri Suci Waisak yang jatuh pada 17 Mei 2011 mendatang.


Tersirat diwajah para kakek-nenek lansia ini, terbias senyum tanda hati gembira, sementara warga vihara bertepuk tangan. Seratusan umat Buddhis dari Vihara Sakyakirti, memberikan bantuan makanan kepada penghuni panti. Mereka datang menggunakan mobil pribadi, sementara bantuan diangkut menggunakan mobil pik up.

Lagu kasih Ibu, Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Yang dilantunkan oleh melantun 70 lansia dan seratusan warga Vihara Sakyakirti di aula panti Budi Luhur Paal Lima Kota Jambi.

"Bertepatan dengan hari baik ini, kita berusaha untuk berbuat kebajikan dengan kunjungan kasih. Kita seperti ini berkat adanya bapak dan ibu," kata Balamitta ketua Majelis Budhayanaa Indonesia (MBI) Provinsi Jambi di aula Panti Budi Luhur, Minggu (17/4).

Selain pemeberian bantuan, ada beberapa agenda dibawa warga Buddhis, antara lain pengecekan kesehatan, makan bersama dan hiburan dari anak muda Buddhis digelar juga, pemeriksaan tersebut tidak dipungut biaya alias gratis.

Suasana kemarin siang tambah menghangat. Sembari duduk, para hadirin dihibur juga oleh penampilan artis lansia. Seorang nenek yang berumur 80 tahunan, diiringi electone piano anak muda Buddhis mendendangkan lagu Cucak Rowo. Sepontan hadirin langsung bertepuk tangan, bahkan beberapa orang langsung maju kedepan ikut berjoget, termasuk Balamitta. Suasana bertambah akrab lintas usia dan etnis ini lansung terlihat, anak muda dan orang tua bergoyang bersama diiringi suara 'emas' dari sang nenek.

15 Apr 2011

Enam Rohaniwan Khonghucu Jambi Dinyatakan Lulus

JAMBI – Setelah menjalani pelatihan calon rohaniwan Khonghucu di Klenteng Hok Sin Tong di RT. 23 Kelurahan Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung., Jumat sore (15/4-2011) merupakan hari terakhir dalam pelatihan calon-calon Rohaniwan Khonghucu di Jambi yang digelar langsung oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu (Matakin) pusat Jakarta.
Meskipun pada awal latihan, ada puluhan peserta yang hadir, namun hanya ada enam peserta yang benar-benar mengikuti secara aktif, maka keenam utusan klenteng di jambi dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan sebagai seorang rohaniawan.

Menurut Xs. Djaengrana Ongawijaya, Dewan Rohaniwan Matakin yang juga sebagai pemateri bahwa keenam orang tersebut sudah melalui berbagai tahap pelatihan baik secara teori maupun praktek dengan baik dan benar. “Maka, dari belasan peserta, kita hanya memilih enam orang yang dinyatakan lulus dan bisa langsung diresmikan,” ujarnya.

Mereka yang lulus tersebut adalah The Lien Teng perwakilan dari Makin Klenteng Sai Che Tien, Alisan perwakilan dari Makin Klenteng Gi Hong Tong, Iwan perwakilan dari Klenteng Leng Sam Keng yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Kuala Tungkal). Selanjutnya ada Budiman dari Klenteng Leng Chun Kheng dan Heryanto dari Klenteng Cheng Hong Lau dan Oh Kien Seng dari Makin Klenteng Hok Sin Tong.

Mengapa hanya enam,? Menurutnya, para peserta lainnya mengundurkan diri karena mereka memiliki kegiatan dan kesibukan masing masing. Sehingga tidak bisa mengikuti pelatihan selama tiga hari tersebut. Hanya saja, masih ada dua peserta lainnya yang masih ikut dalam pelatihan, tetapi tidak dinyatakan lulus sebagai rohaniwan. “Mereka masih tahap belajar. Meskipun jumlahnya hanya sedikit, tetapi kita berharap mereka memiliki kualitas yang sangat baik sehingga bisa langsung mempraktekkan kemampuan mereka terhadap umat Khonghucu di Jambi,”bebernya.

Sebelum peserta di lantik menjadi rohaniwan, terlegih dahulu mereka harus melakukan sembahyang meminta izin kepada Tien (Tuhan). Ini sebagai simbol bahwa mereka meminta izin untuk melakukan tugas sebagai pemimpin upacara dan pemimpin pernikahan umat Khonghucu di Jambi. Maka, dengan izin Tien-lah, mereka yang dinyatakan lulus tersebut bisa melakukan tugas dengan baik dan benar. “Ini karena tugas dan fungsi mereka tidaklah mudah. Memiliki tanggungjawab yang besar sehingga harus benar benar dijalani dengan baik,”bebernya.

Tentunya ini menjadi pengalaman yang berharga bagi peserta. Salah satunya adalah The Lien Teng yang juga sudah dikenal sebagai pemimpin doa yang sering di undang oleh beberapa Klenteng di Jambi. Meskipun demikian, pria berkacamata ini tetap setia mengikuti pelatihan baik secara materi maupun praktek untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuannya. “Saya berharap ilmu saya lebih banyak dan bisa saya ajarkan kepada anak cucu nantinya,”bebernya.

13 Apr 2011

Mencari Bibit Rohaniwan

JAMBI - Dalam rangka mencari bibit rohaniawan Khonghucu di Provinsi Jambi, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pusat bekerjasama dengan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Jambi menggelar pelatihan calon Rohaniwan yang dibuka siang tadi (13/4) di Klenteng Hok Sin Tong di RT. 23 Kelurahan Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung. Acara yang digelar selama tiga untuk mencari bibit Rohaniwan Khonghucu yang jumlahnya sangat terbatas di Provinsi Jambi.
Menurut Xs. Djaengrana Ongawijaya, Dewan Rohaniwan Matakin yang juga sebagai pembicara bahwa pelatihan ini lebih memfokuskan mencari Rohaniwan yang mampu memimpin doa (upacara) dan memimpin pernikahan. Ini juga salah satu kegiatan Matakin untuk mengembangkan ajaran dan keahlian umat Khonghucu diberbagai daerah di Indonesia dalam memperdalam ajaran Khonghucu. “Kita berharap selama tiga hari ini bisa memberikan pendidikan yang cukup sehingga para peserta bisa langsung kita resmikan sebagai Rohaniwan yang langsung terjun kemasyarakat. Memimpin doa dan upacara,”bebernya saat ditemui setelah acara pembukaan.

Saat pembukaan, turut hadir Drs. Sayuti, Pembinas Agama Khonghucu Kementrian Agama Provinsi Jambi bahwa saat ini, pihaknya sangat mendukung kegiatan yang bernilai positif tersebut. Ini mengingat keterbatasan jumlah ahli atau rohaniwan di Provinsi Jambi. “Tentunya kita sangat mendukung kegiatan ini. Apalagi, selama ini kegiatan yang sama sangat jarang sekali diadakan dan kita berharap dengan adanya kegiatan ini, semakin banyak kegiatan yang dilakukan oleh umat Khonghucu sehingga semakin berkembang dengan baik,”bebernya.

Pada hari pertama, peserta diberikan berbagai materi seperti legalisasi Agama Khonghucu, pengenalan Matakin, Keimanan serta kelengkapan dan tata cara sembahyang yang upacara. Semua pemateri diberikan langsung oleh pihak Matakin Pusat. “Kita juga lengkapi dengan berbagai referensi seperti buku dan majalah yang memang jumlahnya terbatas di Provinsi Jambi ini,”ujarnya.

Dari pantauan dilapangan, peserta terlihat cukup bersemangat mengikuti pelatihan. Sebagian besar peserta adalah pengurus Klenteng di Jambi yang memang selalu terjun langsung dalam setiap upacara dan ritual di beberapa Klenteng di Kota Jambi. “Dengan kehadiran para pengurus Klenteng, mereka bisa langsung mempraktekkan keahlian mereka yang sudah didapat di pelatihan ini,”bebernya.

Pembukaan Pelatihan Rohaniwan Khonghucu Dihadiri 19 Klenteng

JAMBI - Pelatihan Calon Rohaniwan yang digelar oleh Matakin Pusat ini diikuti oleh 19 utusan klenteng dari 27 Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. Ini dikoordinir oleh empat Makin Jambi yaitu Makin Sai Che Tien, Leng Chun Keng, Gie Hong Tong dan Hok Sin Tong. “Kita berharap dengan kegiatan ini, semua Klenteng bisa bekerjasama dengan baik,”ujar The Kien Peng (Darmadi Tekun), Ketua Makin Sai Che Tien Jambi.
Pria berkacamata ini juga mengharap agar setiap Klenteng di Provinsi Jambi memiliki Makin masing masing sehingga setiap upacara dan ritual yang digelar sudah sesuai dengan ajaran Konghucu yang baik dan benar. Dia juga menambahkan bahwa selama ini, ajaran asli tentang Khonghucu sedikit kabur sehingga ada beberapa umat yang melakukan sembahyang belum sesuai dengan standar Khonghucu yang sebenarnya. “Inilah kendala yang sering dihadapi, peraturan dan tata cara sembahyang yang kadang masih abu abu serta para Rohaniwannya yang sangat terbatas. Sebagian Klenteng harus mengundang Rohaniawan dari Provinsi Jambi untuk memimpin sebuah upacara,”ujarnya.
Maka, dengan kegiatan ini, diharapkan semakin banyak umat yang mengerti tentang ajaran dan tata cara sembahyang yang baik dan benar. “Diawali dengan pemahaman para pengurus Klenteng sehingga bisa diikuti oleh setiap umat yang ada,”bebernya.

Selain itu, Sayuti, pembinas Agama Konghucu Kementrian Agama Provinsi Jambi menyebutkan adanya beberapa kendala yang dihadapi dalam mendataan jumlah pemeluk agama Khonghucu dan jumlah Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. Hingga saat ini, katanya, data yang tercatat lebih kurang 2000 umat Khonghucu di Provinsi Jambi.

Sedangkan pada saat pelatihan, sudah hadir 19 Klenteng yang ada di Provinsi Jambi. “data inilah yang belum valid. Maka, kita berharap agar Makin Jambi bisa memberikan data yang lebih akurat kepada kita agar kita bisa melaporkannya ke pihak Pusat. Kita berharap akan semakin banyak informasi dan data akurat yang bisa kita dapatkan sehingga kitapun bisa memberikan support untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap Klenteng,”bebernya.

12 Apr 2011

Hio Dalam Tradisi Tionghoa

Hio (dupa) sebenarnya adalah medium untuk melakukan sembayang atau bagian dari peralatan untuk sembayang, tidak mempunyai arti khusus maupun makna khusus didalamnya

Hio itu merupakan sebuah tradisi sebagaimana bunga di barat sana. Hio digunakan karena simbolisasi juga, karena asapnya membumbung ke atas dan disimbolkan sebagai satu macam pendekatan dengan dewa-dewi (shen ming) di atas sana.
Lalu beberapa macam hio juga wangi dan dapat bermakna sebagai penyucian batin dan lingkungan. Ada banyak orang yang bertanya-tanya, kalau pindah agama boleh gak pegang hio yah? Yah, gak masalahlah, wong hio itu gak ada kaitannya dengan agama apapun. Itu hanya tradisi tok. Bandingkan tradisi menghormati dengan bunga di barat dengan tradisi menghormati pakai hio di Tiongkok? Jangan berpikiran sempit. Saya masih sering bingung kalau masih banyak yang merasa sebuah tradisi diadopsi oleh sebuah agama, lalu jadilah tradisi itu haram untuk agama lain.

Dupa atau sering kali disebut Hsiang (Mandarin) atau Hio (Hokkian) adalah salah satu unsur yang eksis dalam kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun. Dupa digunakan dalam acara penghormatan kepada leluhur dan acara-acara ritual keagamaan beberapa agama yang ada di Tiongkok. Asal usul dupa pertama kali sebenarnya bukanlah langsung digunakan untuk penyembahan atau penghormatan. Dupa masuk bersamaan dengan masuknya agama Buddha ke China. Dikatakan bahwa sewaktu Buddha Sakyamuni menyebarkan ajarannya kepada para pengikut, karena cuaca yang panas, kebanyakan murid-muridnya tak dapat berkonsentrasi, merasa mengantuk dalam mendengarkan wejangan dari Buddha Sakyamuni. Maka untuk mengatasi hal ini, orang-orang kemudian membakar kayu harum dan wangi untuk mengharumkan udara dan meningkatkan konsentrasi. Kemudian tradisi ini menjadi kebiasaan dalam agama Buddha dan terbawa ke China dalam penyebarannya.

Dupa kemudian diadopsi oleh agama dan kepercayaan lain yang telah lama ada di China sebelum agama Buddha masuk. Sehingga dupa menjadi sebuah alat dalam ritual dan tradisi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun, baik dalam menghormati leluhur, menghormati dewa-dewi dalam agama-agama tertentu di China dan juga tentunya oleh penganut agama Buddha sendiri.

Tradisi ini kemudian diperlambangkan sebagai sebuah alat untuk berkomunikasi dengan leluhur, dewa-dewi dalam agama tertentu ataupun sang Buddha sendiri. Ini terutama karena anggapan bahwa wewangian yang menyebar dalam udara adalah salah satu bentuk penghormatan kepada yang dipuja. Asap dari dupa yang bergerak ke atas juga sebagai perlambang bahwa niat kita untuk menghormati ataupun memuja akan sampai kepada tujuannya karena anggapan umum semua bangsa dan agama di dunia (saya kira bukan hanya dalam agama-agama tertentu) bahwa yang kita puja itu baik Tuhan (Thian), Allah, Buddha, leluhur dan lain - lainnya yang derajatnya lebih tinggi daripada manusia bertempat di atas langit. Dupa juga dipercaya digunakan dalam acara ritual untuk menghormati leluhur ataupun dewa-dewi dalam agama tertentu di China sebagai pengganti persembahan lainnya seperti kurban-kurban makhluk bernyawa.

Selain itu dari versi lain Berdasarkan kitab Zhou Li (tata krama dinasti Zhou) ditulis kalau untuk menghormati Huang Tian adalah dengan Yin. Yin adalah asap yang membumbung karena kayu (harum)yang dibakar. Pada tulisan Bunsu Sidartanto Buanadjaya, yang berjudul "Ru Jiao - Selayang Pandang Kesejarahan Wahyu dan Kitab Sucinya Sepanjang Kurun Waktu 5000 Tahun", Ong Kun salah satu menteri dari Oey Tee (Huang Di=Kaisar Kuning) adalah penemu Than Hio yang dipakai sebagai wewangian pada upacara sembahyang. Jauh lebih lama dari waktu masuknya agama Buddha ke Tiongkok (waktu Dinasti Han).

Catatan lain di Indonesia dikenal dengan Kemenyan, kemenyan adalah sejenis dupa, Sebenar pemakaian dupa dan pengenalan dupa berasal dari India pada era 7000 SM, pemakaian dupa sudah dikenal di India karena dupa pertama kali digunakan. Fungsi kemenyan sama seperti pembakaran dupa.

Cara sembahyang di kelenteng untuk orang awam pada umumnya dengan menggunakan hio. Hio digunakan karena simbolisasi juga, karena asapnya membumbung ke atas dan disimbolkan sebagai satu macam pendekatan dengan dewa-dewi di atas sana. Lalu beberapa macam hio juga wangi dan dapat bermakna sebagai penyucian batin dan lingkungan. Ada banyak orang yang bertanya2, kalau pindah agama boleh gak pegang hio yah? Yah, gak masalahlah, hio itu gak ada kaitannya dengan agama apapun. Itu hanya tradisi dan bersifat medium atau alat sembahyang saja. (Kristan)

Sumber: http://www.confucian.me/profiles/blogs/hio-dalam-tradisi-tionghoa?xg_source=activity

9 Apr 2011

Doa Untuk Leluhur Secara Turun Temurun

JAMBI – Sebagai keturunan yang sholeh adalah keturunan yang berbakti kepada orangtua maupun terhadap para leluhur, baik di masa mereka masih hidup maupun telah wafat. Seperti pada saat perayaan Ceng Beng atau berziarah ke makam orangtua dan leluhur, sebagai keturunan, mempunyai kewajiban untuk lakukan sembahyang di depan makam atau nisan orangtua/ leluhur.
Walaupun mereka jauh dari kampung halaman (luar kota), namun pada waktu sembahyang Ceng Beng (Qing Ming), mereka akan kembali ke kampung halaman untuk sembahyang orangtua maupun leluhur.

Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga, memberikan penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama. Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri.

Seperti, kuburan Tan Chung Ming yang wafat pada tahun 1916, setiap tahun selalu disembahyangi oleh cucunya yang yang bernama Chu Kung Heng (74), Chu Kung Heng sengaja datang dari daerah Nipah Panjang, kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Dimasa hidup almarhum Tan Chun Ming, pada jaman Belanda beliau berpangkat kapitan (kapten) dan bentuk rambutnya kepang (seperti masa dinasti Qing/ Manchuria).

Tan Chung Ming dimakamkan diatas tanah seluas lebih kurang seratus meter persegi, tanah tersebut pribadi Tan Chung Ming, selain makam Tan Chung Ming yang didampingi sang istri, anak dan cucu.

Menurut penuturan Chu Kung Heng di kuburan pribadi milik buyutnya yang terletak di Jalan Kirana II, Kota Jambi. “Ini makam orangtua mama (Tan Giok Tuang), sebelum mama wafat setiap tahun mama selalu berziarah makam buyut di hari Ceng Beng/ Qing Ming.” Sedangkan paman-pamannya yang tinggal di Jakarta tidak sempat hadir di saat Ceng Beng.


Sebelum mama meninggal, mama berpesan kepadanya agar anak-anaknya hingga ke cucu, cicitnya selalu melakukan sembahyang di makam buyut mereka pada saat Ceng Beng, “Jangan lupa setiap tahun lakukan ziarah ke makam leluhur” maka seusai Chu Kung Heng berziarah ke makam ibunya yang di pemakaman masyarakat Tionghoa, Jalam Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, kota Jambi, bersama dengan anak dan menantunya. Langsung ke makam buyutnya dengan membawa berbagai perlengkapan, seperti kertas sembahyang/ kim cu dan gen cua, buah-buahan, kue, uang alam baka, baju dan sepatu yang terbuat dari karton. (rom-yul)

6 Apr 2011

Warga Tionghoa Ngaku Dihipnotis

JAMBI - Sekitar puluhan warga keturunan Tionghoa Jambi, Selasa siang (5/4-2011) pukul 11.25 WIB mendatangi Polresta Jambi untuk melapor karena mereka telah menjadi korban hipnotis.
Septo (27) seorang pelapor mengaku menjadi korban di hipnotis pada awal Januari 2011 lalu, dan mengalami kerugian Rp 20 juta lebih. Sedangkan pelapor yang lain mengaku sampai ratusan juta. Belum diketahui, apakah kedatangan mereka terkait dengan dugaan hipnotis yang dilakukan oleh dua orang Warga Negara Asing (Cina/RRC).

Sebelumnya, dua orang warga Guangdong, RRC, yaitu seorang pria bernama Cong Wei (48) dan wanita Hu Ayyun (39) diamankan pihak kepolisian. Keduanya diduga melakukan melakukan hipnotis, sesuai laporan warga masyarakat yang menjadi korban.

Mereka diamankan pada di kawasan Pasar Hongkong, Jelutung. Namun polisi tidak memiliki bukti kuat untuk menahannya kedua tersangka dan akhirnya polisi menyerahkannya ke pihak imigrasi Jambi, pada `hari Sabtu (2/4-2011).

Kapolresta Jambi, Kombes Pol Drs Syamsudin Lubis melalui Kasat Reskrim Kompol Agus Suriyono, kepada wartawan mengatakan, kedua warga asal RRC itu diamankan berdasarkan laporan warga yang menjadi korban hipnotis, setelah mendapat informasi ari warga, anggota Polsekta Jelutung, langsung ke lokasi kejadian. (team)

Dua WNA Diduga Lakukan Hipnotis

JAMBI - Dua orang Warga Negara Asing asal Cina yaitu seorang pria Cong Wei (48) dan wanita Hu Ayyun (39) diamankan polisi. Keduanya diduga telah melakukan hipnotis, sesuai dari laporan masyarakat (korban).
Mereka diamankan pada hari Kamis (3/4-2011) di kawasan Pasar Hongkong, Jelutung. Namun Polisi tidak memiliki bukti yang kuat untuk menahan mereka, lalu keduanya serahkan ke pihak Imigrasi Jambi.

Kapolresta Jambi, Kombes Pol Drs Syamsudin Lubis melalui Kasat Reskrim Kompol Agus Suriyono, kepada wartawan mengatakan, kedua warga negara Cina diamankan berdasarkan laporan warga masyarakat yang mengatakan ada pelaku hipnotis. Selanjutnya, setelah mendapat informasi itu, anggota Polsekta Jelutung, langsung ke lokasi kejadian.

"Pertama yang diamankan adalah Hu Ayyun dan setelah dipancing, temannya Cong Wei datang. Lalu, mereka berdua diamankan berdasarkan laporan warga Handil, Jelutung, Acun," kata Agus, Senin (4/4).

Dari informasi yang didapat, kedua tersangka yang ditangkap berasal dari Guangdong, Cina, komplotan mereka itu berjumlah enam orang, terdiri lima wanita dan satu orang pria. Namun, namun pihak Polisi tidak mengetahui di mana keempat orang tersangka itu. Dalam pemeriksaan, anggota Polisi tidak menemukan barang mencurigakan atau bukti yang mengarah ke perbuatan hipnotis seperti yang dilaporkan korban.

"Dari keterangan korban yang bernama Acun, dia bertemu dengan tersangka di Pasar Hongkong. Setelah bertemu, lalu ia pulang ke rumah. Ia mengambil barang-barang berharga seperti uang dan emas miliknya. Tapi, anaknya lalu kagetkan ibunya. Acun baru sadar ketika ia dikagetkan oleh anaknya, kalau dia telah dihipnotis dan barang berharganya tidak jadi diserahkan kepada komplotan hipnotis. Tapi, anak Acun saat itu yang mengetahui ibunya hampir jadi korban hipnotis langsung melapor ke Polsekta Jelutung," jelas Agus.

Sebelumnya, kata Kasat Reskrim Polresta Jambi, juga ada laporan yang masuk di Polresta mengenai hipnotis yang menjadi korban Suliana warga Tanjung Pinang, Kecamatan Jambi Timur. Saat itu, korban mengalami kerugian sebesar Rp 75 juta. "Laporannya November 2010 lalu. Setelah kita temukan korban dengan warga RRC itu, korban tidak bisa memastikan apakah mereka pelakunya atau tidak. Jadi, buktinya tidak cukup untuk menahan mereka. Kita cuma bisa menahan 1x24 jam, kalau tidak ada bukti terpaksa kita bebaskan," ujarnya.

Berdasarkan paspor, keduanya masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno Hatta di Jakarta pada 24 Maret 2010. Mereka tiba di Jambi, pada Kamis (31/3) dengan menggunakan jasa mobil rental AVP warna merah. (team)

5 Apr 2011

Hien Tien Siong Te Se Jit

JAMBI – Ratusan umat Khonghucu Selasa (05/04) membanjiri Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Hok Sin Tong untuk merayakan Hari Ulang Tahun Dewa Hien Tien Siong Te yang berlokasi di RT. 23 Kelurahan Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung.
Klenteng Hok Sin Tong termasuk salah satu Klenteng yang usianya cukup tua di Kota Jambi, Klenteng tersebut didirikan pada tahun 1928 dari daun nipah dan dinding papan, dengan ukuran dalam ruangan 12 X 8 meter dan direnovasi pada tahun 1986.

Mengingat jasa Dewa Hien Tien Siong Te yang telah banyak membantu berbagai lapisan masyarakat, maka tidak heran di setiap perayaan ulang tahun dan kho khun warga tionghoa yang memeluk kepercayaan Khonghucu akan membanjiri Klenteng-Klenteng diseluruh tanah air.

Menurut Ketua MAKIN Hok Sin Tong yang tidak lain juga sebagai mantan Ketua Perkumpulan Aneka Kesejahteraan (ANKE) dan Ketua Pengda Persatuan Xiangqi Indonesia (DPD-PEXI) Jambi, Darman Wijaya, mengatakan bahwa Klenteng Hok Sin Tong dibangun pada tahun 1928 silam dan dilakukan renovasi pada tahun 1986 oleh keputusan sang Dewa agar tidak merubah bentuk asli Klenteng, maka kita selaku pengurus tidak berani memperbesarkan ruang yang sudah tidak dapat menampung umat yang datang sembahyang.

Seusai upacara ulang tahun dan kho khun semua persembahan dari umat dikumpulkan dan dimasak selanjutnya dimakan bersama, dengan memakan hidangan tersebut dipercayai masyarakat akan mendapatkan berkah dari sang dewa. (rom)

Ulang Tahun Xuan Tiang Shang Di (Hian Thian Siang Te)

JAMBI - Xuan Tiang Shang di (Hian Thian Siang Te – Hokkian ) adalah salah satu sen ming (dewa) yang cukup popular, wilayah pemujaannya sangat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia bahkan Indonesia. Orang biasanya menyebutnya sebagai sebagai Shang Di Gong (Siang Te Kong – Hokkian ). Kedudukannya dalam kalangan malaikat sangat tinggi sekali, setingkat di bawah Yu Huang Da Di, dan merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di atau Empat Maha Raja Langit. Si Tian Shang Di terdiri dari Qing Tian Shang Di di Timur, Yan Tian Shang Di di Selatan,
Bai Tian Shang Di di Barat dan Xuan Tian Shang Di di Utara. Beliau mempuyai wewenang di langit bagian utara dan menjadi pemimpin tertinggi para malaikat di kawasan itu. Sebab itu patungnya selalu dilukiskan dengan mengijak kura-kura dan ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan di wilayah utara dan dilambangkan sebagai ular dan kura-kura. Xuan Tian Shang Di yang disebut juga Zhen Wu Da Di (Cin Bu Tay Tee – Hokkian) adalah Xuan Wu. Lalu pada jaman dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti Zhen Wu Da Di. Di sebelah kanan dan kiri Xuan Tian biasanya terdapat dua orang pengawal yaitu jendral Kang dan jendral Zhao.

Pemujaan terhadap Xuan Tian Shang Di mulai berkembang pada masa dinasti Ming. Dikisahkan pada masa permulaan pergerakannya Zhu Yuan Zhang (pendiri dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di pegunungan Wu Dang Shan (Bu Tong San – Hokkian), di propinsi Hu Bei, dalam sebeluah kelenteng Shang Di Miao. Berkat perlindungan Shang Di Gong (sebutan populer Xuan Tian Shang Di), Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya. Kemudian berkat bantuan Xuan Tian Shang Di, maka Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongol dan menumbangkan dinasti Yuan. Ia mendirikan dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalma mempersatukan Tiongkok. Untuk mengenang jasa-jasa Xuan Tian Shang Di dan berterima kasih atas perlindungannya, ia lalu mendirikan kelenteng pemujaan di ibu kota Nanjing (Nanking) dan di gunung Wu Dang Shan. Sejak itu Wu Dang Shan menjadi tempat suci bagi para penganut Taoisme. Kelentengnya, dengan patuang Xuan Tian dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang. Disamping itu Shang Di Gong juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara. Tiap tahun tanggal 3 bulan 3 Imlik ditetapkan sebagai hari She-jietnya dan tanggal 9 bulan 9 Imlik adalah hari beliau mencapai kesempurnaan dan diadakan upacara sembahyangan besar-besaran pada hari-hai itu. Sejak itulah pemujaan Shang Di Gong meluas ke seluruh negeri, dan hampir disetiap kota besar ada kelenteng yang memujanya.

Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong didirikan. Tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah, dan menjadi pusat pemujaan bersama rakyat dan tentara. Oleh sebab itu, maka kelenteng Shang Di Miao tersebar di berbagai tempat. Diantaranya yang terbesar adalah di Tainan yang dibangun pada waktu Belanda berkuasa di Taiwan.

Setelah jatuhnya Zheng Cheng Gong, dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliau sebetulnya adalah seorang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan dan mengkikis habis sisa-sisa pengikut dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng aliran Buddha tentang seorang jagal yang telah bertobat lalu membela perut sendiri, membuang seluruh isinya dan menjadi pengikut Buddha. Kura- kura dan ular yang diinjak itu dikatakan sebagai usus dan jerohan si jagal. Oleh sebab itu makan tingkatannya diturunkan menjadi Malaikat pelindung Penjagalan. Pembangunan kelenteng-kelenteng Shang Di Miao, sejak itu menjadi sangat berkurang. Pada masa dinasti Qing ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu, yaitu Lao Gu She Miao di Tainan. Tapi sebetulnya kaisar-kaisar Manzhu sangat menghormati Xuan Tiang Shang Di, terbukti dengan dibangunya keleteng pemujaan khusus untuk Shang Di Gong di komplek kota terlarang, yaitu Istana Kekaisaran di Beijing yang dinamakan Qin An Tian dan satu lagi di Istana Persinggahan di Chengde.

Mengenai riwayat Xuan Tian Shang Di ini, seorang pengarang yang hidup pada akhir dinasti Ming, Yu Xiang Tou telah menulis sebuah novel yang bersifat dongen yang berjudul “Bei You Ji” atau “Catatan Pejalanan Ke Utara”. Novel ini sekarang telah diterjemahkan dalam bahasa Indoensia dengan judul dalam lafal Hokkian, Pak Yu Ki, dalam bentuk cerita bergambar oleh penerbit Zambhala dari yayasan Tridrama Jakarta.

Adapun ringkasan riwayat Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah sebagai berikut :

Dikisahkan Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee – Hokkian) telah menyatakan keinginnya untuk turun ke dunia, maka satu diantara ketiga rohnya lalu lahir sebagai manusia pada keluarga Liu (bandingkan dengan kepercayaan Kristen tentang Trinitas). Ayahnya Liu Tian Jun, kemudian memberi nama Zhang Sheng yang berarti “Tumbuh Subur”. Liu Zhang Sheng tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas. Pada usia tiga tahun ia sudah dapat membawakan sanjak dan membuat syair.

Di taman keluarga Liu (Law – Hokkian) itu terdapat pohon yang besar dan tinggi serta memancarkan cahaya yang berkilauan. Ternyata disitu bersemayam Duo BAo Fo (To Po Hud – Hokkian) atau Buddha Praburatna Tathagata. Sang Buddha melihat Liu Zhang Sheng begitu tekun bersembahyang di bawah pohon itu, begitu tulus memujanya, sehingga ia merasa kasihan dan meninggalkan pohon itu. Sepeninggal Duo Bao Fo maka pohon itu menjadi kering dan cahayanya lenyap. Liu Zhang Sheng sangat masygul melihat pohon kesayangannya layu. Duo Bao Fo lalu muncul dihadapannya dan menjelaskan mengapa pohon itu bersinar berkilau-kilauan tapi sekarang layu. Zhang Sheng menyatakan ingin ikut sang Buddha pergi ke istana langit. Sang Buddha menyanggupi, tapi orang tuanya tidak mengijinkan. Liu Zhang Sheng memaksa.

Diantara ratap tangis orang tuanya, dia ikut Duo Bao Fo terbang kelangit. Oleh sang Buddha dia diantar ke San Qing Tian (Sam Tjeng Tian – Hokkian yang berarti istana tiga kesucian) tempat kediaman Miao le Tian-zun seorang tokoh agama Dao(Tao). Setelah mengetahui keinginan Liu Zhang Sheng yaitu ingin menjadi Dewa, Miao Le mengatakan bahwa untuk menjadi dewa, ia harus lahir di dunia kembali, untuk bertapa dan mengalami berbagai kesukaran dan cobaan, serta tahan menderita. Lalu Miao Le menambahkan “sebagai manusia kau harus menghilangkan pikirang yang bukan-bukan, kalau ingin berhasil. Sekali berbuat kesalahan, kau akan gagal”.

Kembali Liu Zhang SHeng menitis ke dunia, kali ini menjadi seorang putra raja yang bernama Xuan Ming. Karena kegagahannya Xuan Ming akhirnya diangkat menggantikan ayahnya yang wafat dan menjadi raja di negeri itu. Pada suatu hari Miao Le Tian Zun dating dan mendidiknya memahami masalah kedewaan. Di bawah asuhan Miao Le, ia lalu meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai raja dan mengikuti Miao Le pergi ke gunung untuk bertapa. Di gung Feng Lai Shan (Hong Lay San – Hokkian) mereka mendirikan gubuk dan tinggal disana sambil mempelajari kitab-kitab suci dan ajaran-ajaran Dao.

Sudah bertahun-tahun Xuan Ming bertapa, maka suatu hari Miao Le Tian Zun (Biauw Lok Thian Cun – Hokkian) berniat mengujinya. Disuruhnya Xuan Ming turun gunung untuk membeli buah tao, Miao Le menyamar menjadi seorang wanita desa yang cantik dan mencegatnya sambil menawarkan buah persik dengan harga luar biasa mahalnya yaitu 1.000 tael mas sebuah. Tapi bila Xuan Ming mau memperistrikannya, maka buah persik tersebut diberikannya dengan gratis. Xuan Ming terpaksa mengabulkan permintaannya dengan syarat “Aku adalah seorang pertapa, dalam hidup ini memperistrimu adalah tidak mungkin, hanya pada penitisan yang akan datang aku bersedia mengawinimu”. Si wanita dengan tersenyum menjawab, “ Dalam penitisan yang akan datang tidaklah menjadi soal, yang penting adalah kesanggupanmu. Sekarang terimalah buah ini”. Tiba-tiba wanita itu lenyap dan Miao Le Tian Zun muncul di hadapannya dengan wajah gusar “Engkau menginginkan seorang wanita berarti kau masih terikat pada keduniawian, karena itu untuk mencapai kedewaan pada saat ini adalah mustahil, kau harus menitis kembali ke dunia”. Xuan Ming menangis menyesali perbuatan dan kecerebohannya.

Akhirnya dengan diantar oleh Miao Le, Xuan Ming menitis kembali lagi ke dunia negeri Jing Luo Guo (Ceng Lok Kok – Hokkian) sebagai putera raja yang bernama Xuan Yuan Tai Zi.

Ketika berusia 15 tahun, dalam suatu keramaian pada perayaan Yuan Xiao (Goan Siauw – Hokkian, Capgome), Xuan Yuan menjadi dingin hatinya melihat banyaknya kesengsaraan dan kekerasan di masyarakat. Dilihatnya orang berhantam karena berebut wanita, seorang penjambret dihajar oleh massa sampai babak belur, orang kaya dengan segala kemewahannya berpesta pora, sedang di jalan-jalan orang miskin mati kelaparan. Ini semua menggugah keinginnya untuk menjadi dewa dengan meninggalkan keduniawian, seperti pada penitisan yang lalu. Mendengar keinginannya ini raja sangat marah. Xuan Yuan dujebloskan dalam penjara. Pada saat ia dalam penjara itulah Miao Le Tian Zun datang menolongnya dan membawanya ke gunung Wu Dang Shan (Bu Ton San – Hokkian).

Di sana ia melanjutkan tapanya untuk menjadi dewa. Berkali-kali ayahnya menyuruh orang untuk meminta dia pulang, tapi tekadnya tetap teguh, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah 20 tahun bertapa, Miao Le diam-diam menyuruh malaikat penguasa gunung Wu Dang, untuk mengujinya. Sang malaikat manyaru sebagai seorang wanita cantik yang mencoba dengan berbagai car untuk merayu Xuan Yuan. Xuan Yuan kehabisan akal untuk menolaknya, ia lalu bangkit dari meditasinya dan meninggalkan tempat itu. Di kaki gunung ia melihat seorang wanita tua mengasah sebaang besi di atas batu. Ketika Xuan Yuan bertanya apa maksudnya mengasah besi, nenek itu menjawab dia sedang membuat jarum untuk cucunya. Xuan Yuan termenung mendengar ucapan nenek, ia sadar akan makna yang terkandung dalamnya. Dengan teguhnya hati, besi batangan pun dapat digosok menjadi jarum. Xuan Yuan lalu kembali menjalankan tapanya dengan tekun, setelah berhasil mengatasi berbagai godaan. 20 tahun kemudian Miao Le menjemputnya dan naik ke langit untuk bertemu dengan Yu Huang Shang Di (Giok Hong Sian Tee – Hokkian). Yu Huang lalu berfirman dan mengangkat Xuan Yuan menjadi dewa dengan gelar Xuan Tian Shang Di dan berkuasa di sebelah utara dan bertugas memerangi kejahatan serta menangkap siluman dan iblis yang mengacau dunia.

Selanjutnya dikisahkan Xuan Tian Shang Di turun ke bumi menakklukan berbagai siluman, antara lain siluman ular dan siluman kura-kura, yang kemudian menjadi pengikutnya. Disamping itu seorang tokoh dunia gelap Zhao Gong Ming (Tio Kong Bing – Hokkian) juga ditaklukkan dan menjadi pengawalnya, sebagai pembawa bendera berwarna hitam.

Dalam kisah ini oleh pengarang, kura-kura dan ular yang merupakan lambang Dewa Utara (Xuan Wu) sengaja dipersonofikasikan sebagai manusia untuk lebih menonjolkan Zhen Wu. Akhirnya kisah ini dihubungkan dengan sejarah dinasti Ming dimana diceritakan bagaiman Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di membantu Zhu Yuang Zhang mengalahkan kerajaan Yuan (Mongol).

Sehubungan dengan kura-kura dan ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan dan Hongkong, memuja Xuan Tian Shang Di, agar kura-kura dan ular di sungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak dan gelombang yang mengancam usaha mereka. Kecuali di Taiwan dan Hongkong, pemujaan terhadap Xuan Tian ini juga menyebar di Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Singapura kelenteng yang terkenal memuja Xuan Tian adalah Wak Hai Cheng Bio di Philip Street. Di Indonesia setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.

Menurut cerita, kelenteng Xuan Tian Shang Di yang pertama di Indonesia adalah kelenteng Welahan, Jawa Tengah. Di Semarang sebagian besar kelenteng adalah tempat pemujaan untuknya. Sedangkan yang khusus memuja Xuan Tian Shang Di sebagai tuan rumah, adalah kelenteng Grajen dan Bugangan.

Disini dapat dilihat bahwa Xuan Tian Shang Di adalah dewa Taoisme dan Konfusianisme yang kepopulerannya sejajar dengan Guan Yin dan Guan Di (Kwan Tee – Kwan Kong – Hokkian).

Xuan Tian Shang Di adalah Zhen Wu Da Di ditampilkan sebagai seorang dewa yang memakai pakaian perang keemasan, tangan kanannya menghunus pedang penakluk iblis, dan dengan kedua kakinya yang tanpa sepatu, menginjak kura-kura dan ular. Wajahnya gagah berwibawa dihias dengan jenggot panjang dan rambutnya terurai ke belakang lepas, tidak diikat atau dikonde sebagai umumnya rambut pria pada jaman itu. Patung-patung Zhen Wu yang terdapat di dalam kelenteng-kelenteng di gunung Wu Dang Shan semuanya juga bergaya demikian.

Menurut cerita-cerita yang beredar di kalangan rakyat, wajah maupun bentuk tubuh patung Xuan Tian itu sesungguhnya adalah wajah Kaisar Yong Le dari dinasti Ming atau yang sering disebut sebagai Ming Cheng Zu (1403 – 1424). Sebab itu adalah sebuah pemeo yang mengatakan “Patung Zhen Wu, berwajah Yong Le” Menurut “ Catatan warta-warta dari Hubei”, patung Xuan Tian dan Kaisar Yong Le memang mempunyai kaitan yang erat. Seperti diketahui pada masa permulaan dinasti Ming, Zhu Di yang seringkali disebut sebagai pangeran Yan Wang yang berkedudukan di Beijing telah menggerakkan pasukan merebut tahta kerajaan yang pada waktu itu diduduki oleh keponakannya yaitu Kaisar Hui Di. Zhu Di kemudian lalu mengangkat dirinya sebagai kaisar ke 3 diansti Ming dengan gelar Cheng Zu dan tahun kerajaannya diganti menjadi Yong LE yang berarti “kegembiraan abadi”, sebab itu ia lajim disebut sebagai Kaisar Yong Le. Banyak menteri yang tidak menyetujui tindakan kaisar baru ini, mereka tidak puas tapi tak berani terang-terangan mengutarakan kejengkelannya. Umumnya mereka menganut Dao Jiao (agama Dao, Taoisme) dan memuja Xuan Tian Shang Di. Maka diam-diam mereka berdoa kepada sang dewa agar Kaisar Yong Le dihukum karena perbuatan makarnya.

Tentu saja, Kaisar Yong Le mengetahui kasak-kusuk di kalangan para menteri itu. Pada waktu itu memang pemujaan Xuan Tian Shang Di sangat berkembang. Kaisar memerintahkan pembangunan kelenteng secara besar-besaran di Wu Dang Shan, dan banyak patung Dewa itu dibuat untuk ditempatkan disana. Dalam hati sang Kaisar berpikir: Kamu sekalian mempercayai Dewa, aku akan membuat Dewa buat kalian, tak hanya membuat bahkan menjadikan diriku menjadi Dewa yang kalian sembah. Kalau sudah begitu aku tidak kuatir lagi kalian membangkang perintahku.” Dikumpulkannya tukang-tukang pahat kenamaan di seluruh negri dan diperintahkan membuat arca Xuan Tian Shang Di. Kepada mereka Kaisar berkata : Zhen Wu adalah seorang Maha dewa dari Kahyangan, wajahnya gagah dan berwibawa. Kalian harus berhasil menggambarkan secara tepat.”

Para tukang itu kebingungan mereka belum pernah melihat rupa Xuan Tian Shang Di, bagaimana dapat menggambarkan dengan tepat. Mereka mengerahlan semua kemampuan seninya untuk memahat, dan akhirnya terciptalah beberapa macam sosok Xuan Tian. Umumnya menggambarkan Dewa ini sebagai seorang pria yang tampan, dengan berbagai macam bentuk tubuhnya, ada yang tinggi, gagah, ada yang pendek kekar, berwajah serius, atau tersenyum ramah, dalam keadaan berdiri dan menghunus pedang atau duduk bersila dalam semedi.

Tanpa diduga, Kaisar tidak puas sama sekali dengan hasil pahatan mereka, bahkan menuduh mereka tidak sungguh-sungguh sehingga menjatuhkan citra sang Dewa. Mereka semua mengalami nasib buruk, ada yang dipenjara, dibuang bahkan ada juga yang dihukum pancung. Kemudian Kaisar mendengar kabar bahwa ada seorang pemahat ulung dari suku Korea yang namanya sangat termashur sampai ke manca negara. Pemahat itu biasanya disebut Guru Ji. Tanpa menunggu lebih lama, sang Kaisar memerintahkan agar sang pemahat dipanggil. Guru Ji dan para anggota kelaurganya paham bahwa memenuhi panggilan Kaisar berarti suatu kepergian yang belum tentu bisa pulang dengan selamat. Tapi firman kaisar tidak dapat ditolak, maka dengan diiringi ratapan sanak keluarganya ia berangkat ke Beijing memenuhi panggilan Kaisar Yong Le.

Dalam benaknya Guru Ji berpikir, : Kaisar membunuh para pemahat mungkin disebabkan karena mereka tidak dapat menduga secara tepat apa yang dikehendakinya. Akan kucoba menerka apa sesungguhnya apa yang dikehendaki Kaisar dalam pembuatan patung ini”. Begitulah dengan langkah yang tegap ia pergi menghadap Kaisar. Pada saat itu kebetulan sedang mandi, ketika mendengar Guru Ji datang menghadap ia lalu memerintahkan agar sang pemahat langsung menemui dia di kamar mandinya. Guru Ji lalu berlutut di hadapan Kaisar tanpa berani menengadahkan mukanya untuk memandang wajah sang Kaisar. Tapi dia berusaha untuk mengamati segala gerak gerik Kaisar dengan cermat. “Hamba belum pernah melihat wajah Maha dewa Zhen Wu yang berada di Kahyangan. Sedangkan manusia di bumi ini begitu banyak, maka sulit bagi hamba untuk melihat wajah siapa yang pantas untuk dijadikan model wajah Zhen Wu Da Di. Apa daya hamba”, demikian Guru Ji berkata kepada Kaisar. “Tolol”, Kaisar membentak sambil beberapa kali mengehentakkan kakinya, “Gunakan otakmu untuk berpikir.” Mendengar jawaban Kaisar, mendadak seberkas sinar terang terlintas dalam benak Guru Ji, :” Bukankah ia menghendaki aku memakai kakinya yang telanjang sebagai model.” Untuk lebih mempertegas dugaannya ia lalu berkata :” Kalau hamba sudah betul-betul memahami bentuk tubuh yang akan dipahat, barulah hamba berani memahat patung itu, tapi…”. Kaisar pura-pura seakan-akan tidak sengaja lalu memutus perkataan sang pemahat; “ Menengadahlah.” Kali ini nada suaranya berubah agak ramah.

Sekarang Guru Ji betul-betul telah paham Kaisar, nyalinya menjadi besar, ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya Kaisar berdiri di hadapannya. Wajahnya bundar, hidungnya besar, dan matanya agak menonjol karena habis mandi rambutnya terurai ke belakang, dan kakinya telanjang. Hati Guru Ji jelaskah sudah, tapi ia masih juga bertanya : “ Wajah Zhen Wu Da Di harus hamba buat bagaimana?”. Kaisar tidak menjawab, hamba meraba-raba kepalanya sambil menepuk-nepuk. Isyarat ini bagi Guru Ji sudah lebih dari cukup. Ia lalu keluar dari istana dan mulai membuat model patung Xuan Tian berdasarkan keadaan Kaisar Yong Le pada waktu habis mandi. Dan akhirnya sebuah patung perunggu yang beratnya 20.000 kati berhasil dibuat.

Begitu melihat hasil buatan Guru Ji, Kaisar tak henti-hentinya mengangguk dan memuji patung Zhen Wu yang satu ini sungguh-sungguh bagus dan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Kaisar memotong sebagian jenggotnya dan dilekatkan di dagu patung itu. Sejak itulah Kaisar Yong Le sekaligus menjadi Kaisar di dunia dan “Dewa di langit”. Orang-orang tidak berani menentangnya lagi. Dan patung ini sampai sekarang masih ada di kelenteng Zi Xiao Gong di gunung Wu Dang. Para pematung lain kemudian menjadikan patung tersebut sebagai model patung Xuan Tian yang baku, sehingga patung-patung yang muncul kemudian berbentuk seperti itu. Patung Xuang Tian yang kita lihat di Welahan dan kelenteng Tay Kak Sie Semarang juga bergaya demikian, hanya oleh para pemuja sering ditambah mahkota dari kertas yang diganti tiap-tiap tahun.

Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Daoisme, terletak di propinsi Hubei, Tiongkok tengah. Sejak jaman Dinasti Tang, kelenteng-kelenteng sudah mulai di dirikan di sana.tapi pembangunan besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada jaman Dinasti Ming. Tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa pelindung kerajaan. Diantara kelenteng-kelanteng disana yang terkenal adalah Yu Xu Gong (Giok Hi Kiong - Hokkian) yang terletak di bagian barat laut puncak utama Wu Dang Shan, bangunannya bergaya istana Beijing. Lalu adalagi Wu Zhen Gong yang dibangun pada tahun Yong Le ke 15. Kelenteng ini terletak di kaki utara Wu Dang Shan. Di sini terdapat pemujaan dan patung Zhang San Feng (Thio Sam Hong – Hokkian) pendiri cabang persilatan Wu Dang (Bu Tong Pay – Hokkian).

Kelenteng Zi Xiao Gong terletak di puncak timur laut, bangunan inilah yang paling lengkap, dan merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah di gunung itu. Patung perunggu Zhen Wu Da Di hasil pahatan Guru Ji itu ditempatkan disini. Di kelenteng ini anda akan melihat juga lambang gunung Wu Dang Shan yaitu patung kura-kura dan ular. Patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. Katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.

Menurut kepercayaan, kura-kura itu berasal dari perut besar (maag) dan sang ular dari usus Zhen Wu, yang berubah rupa. Dikisahkan bahwa suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan dan minum, Zhen Wu alias Xuan Tian merasakan usus dan lambungnya sedang bertengkar. Rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ itu saling menyalahkan. Zhen Wu menyadari kalau hal ini dibiarkan dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. Dalam kejengkelannya, ia lalu membelah perutnya dan mengeluarkan kedua anggota badan itu, lalu dilemparkan ke rerumputan di belakangnya, kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.

Sang perut besar (lambung) dan usus karena tiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Dao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga. Keduanya lalu berubah menjadi kura-kura dan ular dan menyelinap turun gunung untuk memakan ternak, dan juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi dewa, sangat murka akan kejadian ini. Dengan pedang terhunus dan mengendarai awan ia turun gunung. Tebasan pedangnya dipunggung kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang. Sejak itu punggung kura-kura tampak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil dari tubuhnya.

Kura-kura dan ular setelah ditaklukkan, memperoleh pangkat “erjiang” yang berarti “dua panglima”, dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu. Tapi sang kura-kura rupanya msih belum hilang watak silumannya. Hal ini diketahui oleh Zhen Wu, beliau lalu memerintah sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala barang yang pernah ditelannya dimuntahkan kembali, dan supaya mengungkapkan segala kejahatan yang telah dilakukannya. Patung dari kura-kura dan ular ini sampai sekarang masih ada di ruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong dan selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Wu Dang Shan.

Masih ada satu peninggalan penting yang ada sangkut pautnya dengan Zhen Wu Da Di, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mengasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa di gunung ini, hatinya terasa goyah, Ia lalu memutuskan untuk lari meninggalkan tempat itu. Sampai di tepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran lalu menanyakan apa maksud nenek itu mengasah alu besi. Dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam. Mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung dibalik perkataan sang nenek. Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama “mo-zhen-jing” dengan demikian menjadi terkenal. Kini di dekat sumur itu dibangun rangon dan patung seorang nenek tua yang mengasah alu.

http://www.confucian.me/group/parasucishenming/forum/topics/xuan-tiang-shang-di-hian-thian

Ceng Beng (Qing Ming)

JAMBI – Ribuan masyarakat Tionghoa gelar perayaan Ceng Beng atau berziara ke Makam orangtua, keluarga maupun leluhur mereka yang telah wafat untuk mengingat segala jasa-jasa almarhum-almarhumah yang telah wafat.
Perayaan Ceng Beng tahun ini jatuh pada tanggal 5 April tahun Masehi (sa gwee ciu imlek), Ceng Beng yang berarti, Ceng = Bersih, Beng = Terang. Pada hari tersebut orang Tionghoa berziarah ke makam orangtua, keluarga atau leluhur, membersihkan makam, berdoa serta sembahyang sesuai agama, kepercayaan dan dengan caranya masing-masing. Diatas makam diletakkan kertas kuning kecil memanjang.

Asal usul Ceng Beng menurut beberapa tokoh masyarakat Tionghoa Jambi sebagai berikut, yang mana ada seorang yang bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming, ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara.

Pada suatu ketika Cu Guan Ciang menjadi raja, Cu Guan Ciang tidak mengetahui dimana letak makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat untuk melakukan berziarah dan sembahyang dimakam masing-masing leluhurnya dan memberi tanda dengan kertas kuning diatas makam tersebut sebagai makam leluhurnya. Maka pada makam yang tidak ada tanda-tanda kertas kuning itu dianggap Cu Guan Ciang adalah makam leluhurnya.

Selain membersihkan makam, mereka juga mengirim pakaian dan uang kepada arwah nenek moyangnya tersebut. Bukan uang dan pakaian asli, melainkan semacam kertas doa dan simbol baju yang dibikin mereka sendiri dari kertas ataupun karton yang mudah terbakar. "Ini ada baju dan uang emas dan perak,"

Pada hari Ceng Beng saat ini, makam yang tidak diziarahi, sembahyang diselenggarakan oleh panitia atau lembaga yang mengurusi tanah makam tersebut. Ziarah dimakam bisa dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng Beng, demikian juga dilakukan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Indonesia. (rom)

Arti dan Makna Sembahyang Leluhur (Qing Ming)


JAMBI - Qing Ming, Banyak orang menyebut sembahyang kubur, karena sembahyangnya di depan Pusara atau nisan. Ceng Beng (Qing Ming) adalah budaya orang Tionghoa yang luar biasa tinggi nilainya, karena makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti yang mendalam dan mencakup berbagai aspek kehidupan antara manusia dengan Sang Pencipta Alam Semesta.
Sembahyang Ceng Beng (Qing Ming) tentunya ada beberapa sesajen yang dihidangkan sebagai perlengkapan sembahyang, diantaranya San Sheng (Tiga jenis makhluk hidup), Wu Guo (Lima jenis buah-buahan), Kue-kue dan Ming Zhi/ Kim Cua-Gun Cua (bahasa Hok Kian) ibarat uang kertas di alam baka, serta perlengkapan lainnya. San Sheng berupa daging babi, daging ayam/ itik, dan daging Ikan/ sotong. Maknanya adalah daging babi melambangkan daratan, daging ayam /itik melambangkan udara dan daging ikan/ sotong melambangkan air. Ketiganya adalah sumber kehidupan manusia. Apabila tanpa ketiga sumber kehidupan, maka tiada makhluk di dunia ini dapat hidup.

Wu Guo berupa lima jenis buah-buahan maknanya adalah hasil buah-buahan merupakan suatu karya Tuhan melalui manusia, artinya manusia menanam, Tuhan memberikan kehidupan. Dalam hal ini tersirat kerja sama antara Tuhan dan Manusia. Kue-kue maknanya adalah manusia diciptakan di dunia wajib berusaha dan berkarya, perwujudannya melalui hidangan kue-kue sebagai hasil karya manusia. Sedangkan Ming-Zhi adalah uang kertas alam baka dan hal ini diyakini oleh pemeluk Agama Khonghucu bahwa setelah kematian masih ada kehidupan lain yakni kehidupan alam baka. Selain itu ada juga yang mengirimkan lengkapan lainnya seperti baju, sepatu, uang alam baka dan lain sebagainya.

Budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa, saat-saat berkumpul bersama-sama secara lengkap adalah ketika orang tua masih hidup atau merayakan pesta ulang tahun orang tua. Tetapi apabila orang tua telah tiada, maka saat-saat berkumpul (Silahturrahmi) adalah saat sembahyang leluhur (Qing Ming).

Sembahyang leluhur (Qing Ming) cenderung dilaksanakan di depan pusara/ kuburan. Setelah itu sembahyang leluhur dilaksanakan di rumah (altar). (rom)

Penghormatan Kepada Orang Tua

Bagi masyarakat Tionghua, penghormatan kepada orang tua, baik kepada yang masih hidup maupun kepada yang sudah meninggal, merupakan sebuah kebudayaannya sejak jaman dahulu kala.
Relasi antar manusia dalam tradisi Tionghua tidak akan hilang, meskipun kematian telah memisahkan orang dari kehidupan di atas dunia ini. Karena itu tidak heran kalau dalam setiap keluarga penghormatan kepada leluhur menjadi bagian penting dalam kehidupan bersama. Orang yang tidak lagi menghormati leluhur yang telah meninggal dianggap sebagai seorang anak durhaka, sebab mereka melupakan asal usul dan jasa dari para pendahulunya, bahkan melupakan akar kehidupannya sendiri.

Penghormatan kepada para leluhur bukanlah suatu sikap menyembah. Hal inilah yang kerap kali disalahmengerti oleh sebagian besar orang, bahkan oleh orang Tionghua sendiri. Peletak dasar ajaran etika bangsa Tionghua, tidak mengajarkan penyembahan kepada leluhur, seakan-akan mereka itu setingkat dewa. Persembahan itu hanyalah sarana untuk menyatakan hormat dan penghargaan kepada leluhur/ tokoh-tokoh yang berjasa dalam hidup.

Masyarakat Tionghua membagi dunia dalam dualisme yin-yang. Kehidupan di dunia ini disebut dunia yang, dan kehidupan sesudah dunia ini disebut yin. Maka bila orang meninggalkan dunia ini, dia berpindah ke dimensi lain dari kehidupan. Mereka tidak mati dalam pengertian binasa, tidak ada lagi, dan tidak mempunyai hubungan dengan dunia. Hubungan antara yang hidup dan yang mati, antara dunia sini dan dunia sana, inilah yang harus dijaga keseimbangannya. Bila keseimbangan itu terganggu, roh-roh akan marah. Keseimbangan ini dijaga bukan dengan persembahan, melainkan dengan perilaku hidup moral yang baik dan benar. (rom)

Ribuan Warga Ziarah Ke Makam Leluhur

JAMBI – Perayaan Ceng Beng atau berziarah jatuh pada hari Selasa, 5 April 2011 (Sa Gwee Cui Sa/ bulan tiga, tanggal 3 lunar kalender, namun sehubungan hari Selasa adalah hari kerja, maka hari Minggu kemarin (03/4-2011) ribuan warga Tionghoa lakukan ziarah kemakam orangtua, keluarga maupun leluhur yang dimakamkan di kuburan Tionghoa di kilometer 7.5 Jalan Kapten Pattimura, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi dan TPU Bumi Langgeng di Pondok Meja.
Sejak dini hari TPU atau kuburan Tionghoa Jalan Kapten Pattimura, telah dipadati berbagai jenis kendaran roda empat maupun roda dua, sehingga untuk masuk kedalam TPU kendaraan harus antrian.

Mereka datang dari dalam dan luar kota. Ada yang dari Medan, Jakarta, bahkan ada yang datang dari Hongkong maupun Singapure.

Perayaan Ceng Beng adalah untuk membersihkan makam orangtua, sanak famili maupun leluhur, agar para arwah orangtua, keluarga, maupun leluhur yang telah tiada dapat merasa tentram dan beristirahat dengan tenang di tempat terakhir dan sambil berdoa dan sembahyang sesuai kepercayaan masing-masing. Diatas makam mereka meletakkan kertas kuning kecil memanjang, maupun perlengkapan sehari hari seperti pakaian, minuman, rokok (bagi keluarga laki-laki), uang yang semuanya terbuat dari kertas selain itu juga terdapat berbagai sesajian diantaranya kue merah, bakpao, buah-buahan.

Tampak perayaan Ceng Beng kali ini lebih ramai dari tahun-tahun sebelumnya juga terlihat beberapa pengusaha sukses yang berziarah ke makam orangtua/ leluhur. Tidak terkecuali bagi yang kaya maupun miskin.

Menurut penuturan Panitia Ceng Beng, catatan lama makam (kuburan) yang ada di kilometer 7.5 Jalan Kapten Pattimura lebih kurang 7.000 lebih dengan luas tanah 26 hektar, ada yang makamnya dipindahkan oleh pihak keluarga maupun dikremasikan selanjutnya abu leluhurnya disemayamkan di vihara-vihara, sedangkan yang melakukan ziarah pada hari minggu diperkirakan lebih dari seribu orang, karena hari itu adalah hari libur sehingga bagi orang yang bekerja maupun pedagang memiliki waktu. (rom)

3 Apr 2011

Wapres Resmi Buka Jambi Expo 2011

JAMBI - Wakil Presiden Boediono secara resmi membukan kegiatan Jambi Expo 2011.

Pada kegiatan yang digelar di arena eks-MTQ Kota Jambi, Jumat, Wapres berpesan agar kegiatan Jambi Expo benar-benar bisa memperkuat ekonomi daerah yang akan berimbas pada peningkatan ekonomi masyarakat.
"Saya dengar ini merupakan Jambi Expo pertama, mudah-mudahan akan lebih banyak investor yang mengenal kekayaan daerah di Jambi dan Sumatra pada umumnya sehingga bisa memancing penanaman modal di daerah," ujarnya.

Boediono mengaku sangat terkesan dengan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) di Provinsi Jambi.

"Masyarakat Jambi sangat antusias dan ramah, begitu juga kekayaan alamnya ini merupakan aset berharga bagi kemajuan daerah," katanya.

Sementara itu, Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus dalam pemaparannya mengatakan, Jambi Expo 2011 tidak hanya diikuti oleh instansi pemerintah setempat namun juga ratusan perusahaan-perusahaan swasta baik di Jambi maupun provinsi tetangga.

Dia mengatakan, Provinsi Jambi sangat kaya akan SDA mulai dari kekayaan minyak dan gas (migas), hasil perkebunan berupa karet, sawit, pinang, kopi, kakau serta hasil produksi pertanian maupun perikanan. Begitu juga hasil olahan pendukung lainnya.

"Kami bertekad menarik sebanyak mungkin investor datang ke Provinsi Jambi. Kami yakin dengan modal SDM dan SDA yang ada disini bisa bersaing," katanya.

Menurut dia, antusias masyarakat Jambi dalam penyelenggaraan Jambi Expo 2011 dibuktikan dengan anggaran yang mencapai total Rp2,5 miliar sama sekali tidak dibiayai oleh daerah. Namun, oleh kalangan pengusaha dari yang kecil hingga perusahaan ternama di daerah itu.

"Ini bukti masyarakat Jambi sangat ingin memperkenalkan kemampuan manusia dan alamnya. Ini juga menggambarkan betapa Provinsi Jambi sangat kaya akan hasil-hasil alam yang bisa bersaing dengan daerah lain," tambahnya.

Usai meresmikan pembukaan Jambi Expo 2011, Wapres didamping istri Ny, Herawati Boediono beserta rombongan berkesempatan meninjau pameran pada Jambi Expo 2011.

Turut hadir juga Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fawzi, Menteri Kesehatan, Endang Sri Rayahyu, Menteri Pertanian, Suswono, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Gubernur Sumatra Selatan, H.Alex Noerdin.
(ANT)